Catatan 28 : Tercekik Algoritma

9 0 0
                                    

Haruskah kelak Aku menjadi budak media yang menuliskan artikel dengan keywrod keinginan redaktur? Atau Aku akan berhenti bekerja untuk media yang begitu mengobsesikan adsense, memprioritaskan kuantitas di atas kualitas?

Transformasi digital membuatku melek bahwa, Aku masih terlalu dangkal untuk menyelami dunia jurnalisme yang sedemikian kompleks. Alih-alih patuh terhadap kode etik jurnalistik, Aku justru dihadapkan dengan situasi di mana Aku harus menjadi budak korporat atas reskrutan dari dosen.

Mula-mula, Aku sedemikian bahagia, diberikan kepercayaan oleh dosen yang kugemari intelektualitasnya, beliau telah menjembatani menuju wadah berproses yang menjanjikan.

Mahasiswi yang dianggap telah profesional dan mampu berlarian menuju tenggat dengan baik secara produktif dan konsisten, sederhananya begitu.

Ketika kukira kualitas saja telah cukup untuk membuat mentalku aman, pola kerja yang tak biasa ini, membuat skala prioritas bergeser.

Aku mulai jarang menulis tentang hal-hal yang memang benar-benar berangkat dari nurani dan knowlage yang betul-betul Aku pahami. Mulai jarang menulis yang benar-benar diperlukan untuk mengawal kaum-kaum yang rentan, bahkan yang lebih fatal, Aku mulai kurang perhatian dengan website lembaga pers mahasiswa yang selama ini menjadi portal paling idealis nan tak hanya mengharap profit.

Singkatnya, Aku hanya menulis hal-hal yang memang diperlukan untuk monotesisasi dan menjadi budak algoritma. Menulis bukan lagi hobi, tetapi kebutuhan, kewajiban, dan tanggung jawab.

Benarkah menjadi Author media baru adalah keinginan pribadiku?

Ini bukan hanya soal pola kerja yang tak biasa, bukan soal gaji yang tak sesuai, atau tentang Aku yang tidak ada upaya untuk lebih beradaptasi. Ini tentang sebuah tujuan.

Kadang-kadang cita-citaku juga lumayan labil. Aku ingin menjadi cendekiawan, sehingga mendambakan cara berproses di ruang  yang penuh buku-buku tebal dan penelitian.

Aku ingin menjadi pakar yang benar-benar mendalami suatu disiplin keilmuan secara mendalam, nan mendasar, sehingga cukup komprehensif untuk disampaikan secara tidak ragu-ragu.
Dengan kata lain, prioritasku seharusnya belajar bukan?

Meski pun kuakui, di media baru tersebut, Aku juga diajarkan banyak hal, secaa praktek, bukan secara mengeja. Bukan membaca buku tetapi membaca relitas digital.

Lalu Aku menghabiskan banyak waktu untuk memenuhi hasrat redaktur, meskipun Aku tak seproduktif rekan setimku, tapi tidak menutup kemungkinan  lumayan banyak hal yang harus dikorbankan.

Waktu belajar, waktu mengerjakan tugas, waktu menikmati sastra, waktu menulis hal yang Aku suka, waktu untuk bersosial dengan relasi seorganisasi, waktu untuk mengoptimalkan event-event yang juga masih menjadi bagian dari tanggung jawab, waktu untuk menonton film, waktu untuk menyelesaikan naskah, waktu untuk menulis buku, waktu untuk merawat idealisme, waktu untuk menikmati puisi, waktu untuk mencipta puisi, waktu untuk belajar akademis, waktu untuk rapat organisasi, dan seterusnya.

Menjadi multi tasking itu bulshit paling agung sepanjang manusia bersilat lidah.

One man one pasion, betul? Aku tidak ingin terjebak dalam serangkaian aktivitas penuh tekanan yang didalamny Aku tidak merasa enjoy sama sekali.

Bukan kah manusia memang seharusnya berhak menentukan jalan hidup, gaya hidup, cara berfikir, dan bagaimana bergerak untuk terus tumbuh?

Menurutmu, lebih baik menjadi kaya raya dengan tertekan atau menjadi medioker yang menikmati hidup? Aku sengaja tidak meng-opsi-kan miskin, karena tidak berada dalam pola pikir binner.

Katakan lah bertahan di media tersebut merupakan investasi besar di masa mendatang, tapi, bukan kah kita hidup di masa sekarang?

Orang-orang gemar mempersiapkan masa depan, sehingga rela menderita di masa kini, barangkali mereka mengnalogikan hidup seperti menanam benih pada tanah.

Mereka ingin panen kelak, sehingga masih rela merawat tanaman meskipun dengan sakit-sakitan. Tanaman itu mungkin tumbuh subur, tapi apakah kita bisa memastikan bahwa ketika kelak panen, diri kita masih lah utuh?

Dosenku sangat baik, rekan kerjaku yang hangat, kalian adalah segenap manusia yang berkontribusi baik dalam fase dilematisku.

Tapi, izinkanlah aku berpikir ulang, untuk tetap bertahan.

Purwokerto, 08/04/2023

Denyut JariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang