4. Nasihat Sahabat

912 149 8
                                    

"Masyarakat acapkali membuat kesimpulan dengan cara instan. Malas mikir. Makanya budaya kita kental dengan stereotip," jelas Fajar. Wajahnya merem melek menghidu kopi yang baru saja disajikan Fitri, istrinya.

"Lantas, saya harus gimana, Mas?" lirih Kinanti.

"Ya nggak gimana-gimana. Agama menghalalkan pernikahan antar saudara sambung. Gaasss keeuunnn!" Mentor di Rumah Mentari yang juga teman sekolahnya Diaz Akbar, memberi dukungan penuh.

Wajah Kinanti bersemu.

"Ya, nggak gitu juga kali. Kita hidup dalam masyarakat. Nggak nyaman banget ke mana-mana jadi pusat perhatian." Fitri ikut berbicara.

"Lha, emang mereka ngasih makan? Bayarin rekening listrik? Ribet amat mesti dengerin omongan orang!" Dengan sedikit emosi, pria itu mengunyah pisang goreng yang masih panas. Kaget, mulutnya menganga menghembuskan napas berasap. Berkali-kali.

"Bukan masalah itu. Simbol ini lho, kecil tapi berat. Belum lagi kejadian abangmu bulan kemarin. Jilbab ini akan jadi sasaran pelampiasan. Perempuan yang berpenampilan sama akan ikut kena imbasnya." Mata Mbak Fitri mengarah pada kerudung dan pin kecil berlabel KORPRI yang Kinanti jadikan bros. Terpaksa, tak ada benda lain.

Kinanti berpaling memperhatikan penampilanya dari cermin yang terpasang di ruang tamu. Pelakor berhijab? Bibirnya tersenyum masam.

Kinanti pulang ke rumah Fitri dan Fajar lebih awal. Dia teringat beberapa pesan yang diterima.

Abang
[Abang gak enak body. Kamu udah pulang?]

Pak Irham Kepsek
[Mamamu menanyakan tentang foto-foto di mading. Bapak jawab apa adanya sesuai yang Bu Kinanti katakan. Akan ditelusuri, jika melanggar kode etik, diproses sesuai aturan kedinasan.]

Giska
[Giska nemu foto di kamar Abang. Liatin ke Mama. Eh, malah nangis. Gak ngerti deh. Padahal yang harusnya nangis kan Giska. Gak diajakin Abang sama Mbak ke Kotu, Museum Wayang.] Pesan diakhiri dengan emoji sedih.

Dua hari di luar kota, bola panas bergulir begitu cepat. Mamanya sudah tahu. Hanya ayahnya yang tak berkabar. Diaz Akbar masih adem ayem.

Hubungan mereka memang begitu sejak dulu. Diaz Akbar tahu sekali tipikal wanita seperti dirinya. Irit bicara dan tak akan merespon sapaan mesra di telepon. Hanya desiran halus yang muncul hampir setahun lalu. Setelah pria itu mengajaknya jadian.

                =====🍎🍎🍎=====

Tiga pesan itu membuat Kinanti berkemas lebih awal. Tergesa.
Menitipkan siswa pada guru pendamping lain. Abangnya hampir tak pernah sakit. Sekalinya mengeluh, sakitnya sudah parah.

Mau tak mau, dia pun harus berkata jujur pada kedua orang tuanya.

Kinanti mengajak sepasang suami istri itu ke apartemen lain milik Diaz Akbar. Kedatangan perdana diantar pihak keamanan apartemen. Membawa makanan dan buah untuk si sakit.

"Ini, sih, sakit karena kangen," celetuk Fajar sambil melesakkan pantatnya di sofa. Disusul istrinya.

Diaz Akbar tak menghiraukan ejekan sahabatnya. Wajahnya kemerahan tapi bibirnya pucat. Dia terbaring lemah di sofa panjang. Selimut menjuntai tak menutupi kaki yang berkaus.

Kinanti segera membuka kemasan bubur dan menyodorkannya ke hadapan Diaz. Pria itu duduk. Martabak didekatkannya ke arah Fajar yang disambar begitu saja olehnya.

"Sudah berobat?" tanya Kinanti.

"Minum obat udah. Berobat, belum. Kan kamu dokter cintanya." Sempat-sempatnya Diaz merayu. Mengabaikan sepasang suami istri yang cuma cengengesan melihat ulah don juan.

(Bukan)  Cinta TabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang