31. Ekstra Part: Penantian Panjang

2.2K 162 30
                                    

Kinanti hanya menyungging senyum kecil saat beberapa teman membahas hal yang sama.

"Gue ke salon gak sendirian lagi, bareng Anne anak sulung gue." Isma, teman sekelas di kelas dua bicara berapi-api. Dia menikah saat kuliah semester enam. Alhasil, foto wisuda yang dipajang di sosial media menggendong dua benda. Buket mawar ucapan selamat dari suami tercinta dan bayi nan lucu. Bukan boneka beruang yang dilempar sana sini tatkala para wisudawan beraksi bergantian di foto booth.

"Gue dong, ke mana-mana dianter Si Dino." Farah yang imut menyebut putranya yang berkumis tipis. Tak jarang, di sosial media bersitegang dengan beberapa akun remaja yang mengira dia pacar anaknya.

"Kinan, kalo pengin cepet jadi, lo mesti coba banyak gaya," bisik Zara. Wajah Kinanti memerah saat Zara menunjukkan berbagai gambar posisi bercinta di ponselnya. Heran, lajang yang satu ini kelakuannya masih tak berubah sejak jaman sekolah.

"Dia gak perlu diajarin sama lo. Suami artisnya yang ngajarin di kasur. Iya kan, Kinan?" Neli yang dulu ngebet meminta nomor ponsel Diaz Akbar, berkata sumir.

"Lo gak asik. Ketemu temen lama, ngomongnya asem. Yuk, kita makan. Ngomong sama Si Neli bikin laper." Nia menyeretnya ke tempat prasmanan.

Reuni adalah acara yang dihindari Kinanti. Tema yang dibahas ya itu-itu saja. Berkisar pekerjaan, nikah, dan sekarang, melewati usia tiga puluh lima, tentang anak yang beranjak remaja. Membuatnya sensitif. Sangat.

Jika bukan karena Nia yang memaksanya ikut, cemooh Barry, dan Diaz Akbar yang sudah memastikan ketidakhadiran Herfanza, Kinanti mending berdiam diri di rumah. Menemani Pak Gurfon dan Umar yang asyik bercocok tanam di kebun.

"Bersosial itu perlu, Kinanti. Bergaullah dengan teman wanitamu. Jangan seperti suamimu yang menimbun harta karun. Ngumpet mulu. Tau-tau punya perak. Dibeli nggak, dijual gak laku." Tongkat Barry menunjuk rambut Diaz yang berwarna silver.

*****

Diaz berkali-kali melirik Kinanti yang raut mukanya berbeda saat pergi dijemput beberapa temannya. Bertemu kawan lama tapi sedih. Diaz memilih diam karena tanpa ditanya pun, Kinanti akan curhat. Inilah yang dia suka, Kinanti tak banyak bicara tapi selalu terbuka.

"Abang, kapan ya aku hamil?" Tangannya mengelus perut yang rata.

"Itu kuasa Allah, Bidadari. Jika belum takdirnya, mau sekuat apa kita berdoa dan berikhtiar, ya gak bisa." Diaz berucap bijak.

Kinanti tersipu. Benar kata Diaz, mereka sudah berusaha sesering yang bisa dilakukan. Malah, Kinanti kewalahan dengan tingginya kadar testosteron Diaz Akbar. Selalu meminta lebih, dan lebih.

*****


Diaz mendekatkan diri. Kedua dahi dan hidung saling menempel. Jemari bertaut.

"Menualah bersamaku, Bidadari. Menualah bersamaku. Kini saatnya kita bahagia. Kumohon, jangan pikirkan yang lain."

Kinanti semakin tersedu. Air matanya luruh mengenai wajah Diaz Akbar. Testpack bekas pakai, bertanda satu garis merah. Lagi.

"Aku bukannya tak menyayangi Umar. Namun, kedua tangan ini merindukan hangat pelukan bayi, rahim ini ingin merasakan tendangannya." Remasan tangannya semakin kuat dalam genggaman Diaz.

"Aku cukupkan dirimu dalam hidupku. Tak ada yang lain." Diaz meraup wajah istrinya. Bibirnya mencari bibir tipis yang bergetar. Kinanti menghindar.

"Bisakah kita menyelesaikan masalah tidak dengan ini?" Kinanti menggerakkan kepala ke samping. Dia tak suka Diaz Akbar menghiburnya dengan aksi ranjang. Selalu begitu.

(Bukan)  Cinta TabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang