"Alhamdulillah baik, syukron." Kedua tangannya tetap berada di dalam saku hoodie. Menatap lekat Kinanti. Yang diperhatikan menundukkan pandangan.
"Oh, syukurlah."
Empat tahun tak bertemu, Diaz begitu fasih melafalkan kosakata syar'i. Tak seperti dulu, meski SMA di pesantren modern, Diaz hedonis dan kebarat-baratan."Sini, mana kopermu?" Diaz mengeluarkan tangan mengambil alih barang bawaan Kinanti yang jumlahnya cukup banyak. Di pergelangan tangan kirinya, masih terpasang gelang bertuliskan namanya. Kinanti terpaku.
Diaz berjalan mendahului. Menyeret trolly. Setengah berlari Kinanti mengejar. Menjaga jarak, tetap di belakang. Mengimbangi langkah-langkah panjang kakinya.
Begitu sampai di tempat parkir, Diaz membuka bagasi. Memasukkan satu per satu koper ke bagian belakang mobil. Lalu berputar ke pintu utama. Memperhatikan Kinanti yang masih diam tak bergerak di tempat agak jauh.
"Sampai kapan mau berdiam diri di situ? Masuklah!" Kinanti berjalan membuka pintu belakang mobil. Duduk di belakang kursi penumpang yang ada di samping supir.
Diaz menjalankan mobil dengan pelan.
"Bagas ke mana? Kenapa bukan dia yang jemput?" Kinanti memberanikan diri mengajak bicara.
"Nenek mertuanya jatuh di kamar mandi. Dia pergi mendadak. Ninggalin hape di rumah," jawab Diaz sekenanya.
"Oh."
Suasana kembali awkward. Kinanti mengalihkan pandangan ke jendela samping.
Diaz berkali-kali melemparkan pandangan ke kaca depan. Melihat sosok yang lebih suka memperhatikan keramaian ibu kota. Mobil menepi di tepi jalan.
"Kenapa berhenti? Apakah mobilnya mogok?"
Diaz tak menanggapi.
"Siapa pria itu?" Diaz tak bisa menahan perasaan di depan wanita yang namanya masih tersimpan kuat di satu sudut hati. Waktu empat tahun tak cukup kuat membangun benteng keimanan. Diaz memprovokasi diri mengenakan gelang penuh kenangan yang sudah lama tak dipakai.
"Maksudnya?" Mata Kinanti memicing.
"Siapa pria beruntung yang akan menikahimu?!" Tuntutnya. Tangannya mengepal dibalik kemudi. Rahangnya mengeras.
"Seorang teman." Suara Kinanti datar nian.
"Aahhh ... teman. Teman yang akan menjadi teman hidup," sinis Diaz.
"Kalian pernah bertemu. Dulu," beber Kinanti.
"Aku tak peduli! Kupikir, masih ada kesempatan untukku memperbaiki diri."
"Kesempatan? Kesempatan apa?! Kesempatan untuk nyakitin Ayah dan Mama?!" sambar Kinanti. Emosinya ikut terpancing.
"Kumohon, jangan bawa-bawa orang tua kita!"
"Tuhan sudah ngasih kesempatan untuk kita menjadi saudara. Tapi kita malah merusaknya." Suara Kinanti bergetar.
Tiba-tiba, terdengar suara lain.
"Papa ... Kita udah nyampe?" Kinanti terhenyak mendengar suara anak kecil. Bola matanya melebar. Papa? Diaz, punya anak?
"Sebentar lagi, Nak. Ayo, kamu tidur lagi." Suaranya berubah lembut. Tangannya mengelus kepala Umar. Matanya melirik ke belakang ke arah Kinanti yang memandang tak percaya.
Kamu marah. Artinya, masih menyimpan rasa untukku. Diaz membatin.
=====☘️☘️☘️=====
"Ayo, Jagoan. Kamu mesti makan yang banyak biar kuat." Diaz menyendokkan sayur bayam ke atas piring Umar.
"Udah, Papa. Ini kebanyakan." Bibir Umar memble. Matanya berkaca-kaca. Bocah itu tak pernah bisa menolak kemauan ayahnya. Kecuali Kinanti yang mengunyah makanannya dengan perlahan, semua penghuni rumah tersenyum melihat kedekatan ayah dan anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Cinta Tabu
RomansTumbuh bersama dalam keluarga baru tak menjadikan Diaz Akbar benar-benar menganggap Kinanti sebagai adiknya. Mereka, menjalin hubungan asmara. Keluarga disorot karena hal yang dipandang tabu oleh masyarakat. Setelah sekian tahun 'menepi' untuk mere...