"Ayah tak mungkin bicara begitu! Mbak bukan anak kecil yang tak bisa hidup mandiri!" Dada Kinanti naik turun mendengar penjelasan Bagas. Bibirnya mengatup rapat menahan amarah. Kinanti tak habis pikir, mengapa pikiran ayahnya menjadi sempit, sesempit ruang tahanan.
Lukanya belum sembuh. Menimbulkan efek traumatis. Namun Nugraha begitu mudah menyerahkan dirinya pada .... Ah, dia bukan barang tergadaikan.
"Bagas pun tak percaya jika tak mendengar sendiri pesan Ayah." Bagas tertunduk di hadapan kakaknya.
Setelah berbicara dengan Diaz Akbar, Nugraha memanggil Bagas. Mereka duduk berhadapan di antara meja panjang. Pembicaraan terakhir sebelum Nugraha dipindahkan dari tahanan Polda ke Lapas.
"Ayah titip Mama, Giska, dan Mbak Kinanti. Khusus untuk mbakmu, semoga dia mau menikah dengan Diaz. Ayah perhatikan, Abang kalian sudah banyak berubah."
"Bagaimana bisa Ayah menyerahkan Mbak pada pria yang menjadi sumber masalah keluarga kita?!" Bagas geram mendengar kata-kata Nugraha. Buku-buku jarinya memutih mencengkeram sisi meja yang ujungnya terkelupas.
"Dengarkan Ayah, Bagas! Manusia tak ada yang sempurna. Bahkan yang terlihat sempurna pun meninggalkan kakakmu tanpa kata! Melecehkan keluarga kita! Kamu pikir Ayah tak sakit hati putri Ayah ditinggalkan pergi begitu saja di hari pernikahannya. Hanya bermodal materai, Kamila menyanggupi mengganti seluruh biaya pernikahan dan kerugian rumah sakit asalkan pernikahan dibatalkan!
Dokter Bambang menuduh Ayah menggelembungkan dana pembelian alkes. Nilai yang tak seberapa dibanding harta yang kita miliki. Kenapa? Untuk menunjukkan begitu rendahnya kita di mata mereka.
"Namun, Ayah tak ikhlas sama sekali putri Ayah disandingkan dengan selembar kertas bermaterai!" Nugraha bicara berapi-api sambil menunjuk dadanya sendiri.
Bagas terkejut mendapati fakta ini. Dia tak pernah tahu Kamila mendatangi tahanan dan merayu ayahnya dengan embel-embel materi yang keluarga mereka pun masih sanggup menebusnya.
Sayang, Bagas tak tega menceritakan kisah ini pada Kinanti. Keluarga sedang berbenah diri. Menata hati di tempat baru. Rumah lama dijual. Berharap lingkungan yang asri di pinggiran ibu kota memberikan kedamaian.
=====☘️☘️☘️=====
[Mama, Ayah mengijinkanku menghalalkan Kinanti]
Diaz menyampaikan kabar gembira pada Rahma. Bahwa Nugraha merestui hubungannya dengan Kinanti. Tepatnya, keinginan Diaz untuk mempersunting adik sambungnya, bukan hal tabu.
Angannya melambung. Namun Rahma mengingatkan satu hal, rahasia besarnya.
=====☘️☘️☘️=====
Minggu pagi setelah pembicaraan dengan Bagas, Kinanti menerima kedatangan Diaz dan Barry untuk mengkhitbahnya.
"Jawaban Abang akan menentukan apakah nanti aku mau menerima lamaran ini atau tidak." Kinanti menantang Diaz di depan Rahma, Barry, Giska, dan Bagas sekeluarga. Mereka duduk di meja makan. Tempat yang tak tepat untuk menerima tamu kehormatan. Kinanti dan Diaz duduk di kursi paling ujung. Berhadapan. Lebih mirip dua kubu yang berlawanan daripada dua insan yang akan dipersatukan. Jika takdir menghendaki.
"Baiklah, Abang siap." Diaz menelan ludah. Jantungnya berdetak cepat. Kursi kayu berpelitur coklat tua mengingatkannya saat duduk di kursi pesakitan ruang sidang pengadilan. Memberikan efek psikologis yang tak menyenangkan. Di hadapannya, seorang wanita bak ketua majelis hakim yang menggenggam nyawanya.
"Apakah Umar anak kandungmu?"
Rahma memejamkan mata merapal doa. Dengan mata merah dan bibir bergetar, Diaz menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Cinta Tabu
RomanceTumbuh bersama dalam keluarga baru tak menjadikan Diaz Akbar benar-benar menganggap Kinanti sebagai adiknya. Mereka, menjalin hubungan asmara. Keluarga disorot karena hal yang dipandang tabu oleh masyarakat. Setelah sekian tahun 'menepi' untuk mere...