"Kamu, tak menyukai Wilman, Nak?" tanya Rahma.
"Maaf, Ma. Hati ini ... tak condong padanya," jawab Kinanti dengan hati-hati.
Alasan yang sama diungkapkan pada mamanya. Ini paling aman. Tak perlu cinta, pernikahan harus dilandasi rasa suka. Pandangan yang menyejukkan. Kinanti tak menemukan keduanya pada sosok Wilman. Apalagi dari awal, Mama menyerahkan keputusan proses taaruf padanya.
"Apakah kamu sudah salat istikharah?" Kinanti terdiam mendapat pertanyaan dari ibunya.
"Bukankah ... tak condongnya hati merupakan salah satu isyarat tak berjodoh?" elak Kinanti setelah terdiam cukup lama. Dia semakin pintar berkelit.
"Adakah pria lain yag kamu sukai?" Rahma memancing.
Aku mencintai dia, suara hati Kinanti berkata.
Mereka berdua sedang berada di kafe pinggir sungai. Menjelang istirahat siang, Kinanti mengajaknya makan siang di luar. Kebetulan sekolah mereka berdekatan.
Tempat yang sama dengan sang pria saat Kinanti memesan jus jambu. Minuman favoritnya sejak lama. Saat dulu dia menderita demam berdarah. Minuman yang menjadi tema perbincangan penutup, kemarin. Mengingatkan mereka pada kenangan masa kecil.
"Kamu masih suka jus jambu?" tanya sang pria.
"Huummm ...." gumam Kinanti sambil menyedot minuman kental berwarna merah muda di depannya. Alisnya sedikit berkerut merasakan sensasi asam.
"Dulu, Abang pengin jadi dokter kayak Ayah, saat melihatmu sakit. Darah keluar dari hidung sama telinga. Ngeri."
"Lalu?" Kinanti tersenyum.
"Nenek beli jambu banyak banget. Semua orang di rumah wajib minum jus karena kamu baru mau minum setelah semua orang menghabiskan setengah gelas minuman yang sama," decih sang pria. Kinanti terkekeh.
"Daripada minum jus jambu setiap hari mending jadi dokter. Mastiin orang rumah gak ada lagi yang sakit." Pria itu menyendok sedikit dari gelas Kinanti.
"Ish, Abang jorok!" cicit Kinanti. Suaranya tertahan karena banyaknya pengunjung kafe di sore hari.
"Setelah kuliah di kedokteran, baru tau ternyata jambu bisa naikin trombosit, cuma mitos. Kandungan vitamin C-nya bikin imun bagus. Ini yang menaikkan kadar trombosit dalam darah."
Pria ini pasti disukai pasien karena caranya berbicara mencerahkan."Iya, sih. Tetep aja kadung suka." Kinanti menyeruput sampai tandas.
"Kok diabisin?"
"Loh, emang masih mau?"
Keduanya tertawa.
Hari ini, dia kembali ke tempat dan memesan minuman yang sama. Bersama ibu sang pria.
Diaz Akbar, pria itu, dilahirkan dari wanita anggun yang kini menatapnya sendu. Dan dia, diasuh berbelas tahun lamanya oleh wanita tersebut.
Masing-masing dari mereka mengidolakan orang tua sambungnya. Diaz menjadi dokter seperti ayahnya. Mama Rahma, menginspirasinya menjadi seorang pengajar.
Sekarang, yang akan disampaikan mungkin akan membuat mamanya terkejut.
"Ma, apakah ... mencintai seorang pria sebelum menikah, sebuah kesalahan?" tanya Kinanti. Keduanya tak memiliki hubungan darah. Namun kebersamaan yang terjalin sekian lama, menghapus jarak. Kedekatan mereka melebihi ibu dan anak kandung.
Rahma tersenyum. Betapa naifnya wanita muda yang kini tertunduk di depannya. Dia bukan lagi bocah polos yang menggemaskan. Tubuh jenjangnya berbalut hijab lebar. Wajahnya cantik bercahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Cinta Tabu
RomanceTumbuh bersama dalam keluarga baru tak menjadikan Diaz Akbar benar-benar menganggap Kinanti sebagai adiknya. Mereka, menjalin hubungan asmara. Keluarga disorot karena hal yang dipandang tabu oleh masyarakat. Setelah sekian tahun 'menepi' untuk mere...