28. Hidup Mandiri

999 150 14
                                    

"Assalamu'alaikum. Papa pulang!" seru Diaz dengan ceria.

Kinanti menjawab pelan. Sudah mulai hapal dengan sapaan-sapaan riangnya saat pulang kerja di sore hari.

"Selamat sore, Bidadari. Ini mawar putih untukmu," ujarnya lembut. Kebiasaannya di rumah sakit berlanjut ke rumah. Bedanya, bunga diberikan saat pulang kerja. Hanya satu tangkai. Ditangkupkan di kedua tangan Kinanti.

"Rasakan. Tak sakit, bukan? Ini mawar tanpa duri. Semoga Abang tak lagi menjadi duri dalam hidupmu."
Kata-katanya semanis madu. Entah sudah berapa banyak perempuan terbuai manis madunya. Kinanti bergeming. Namun tak juga memasang wajah datar.

"Dimana Umar?" Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan.

"Hei ... ada di mana kau, Penjahat Kecil?!" Diaz mencari-cari putranya. Umar cekikikan bersembunyi di samping kursi yang Kinanti duduki. Jongkok mepet ke tembok.

"Sssttt ... Mama jangan kasih tau, ya," bisiknya. Kinanti tersenyum sedikit menunduk. Memancing kecurigaan Diaz.

"Aaahhh ... Ada di sini kau rupanya." Tangan besar Diaz meraih tubuh mungil Umar.

"Papa ... Papa ... Jangan, jangan ... geli, Pa." Umar berontak digelitikin ayahnya.

Kinanti tertawa kecil. Kedekatan mereka sangat alami. Tak dibuat-buat.
Diaz Akbar, sangat menyayangi putranya.

=====☘️☘️☘️=====

"Tadi siang Pak Gufron sama Bu Cicih bilang, pengin ngomong sama Abang," Kinanti bicara dengan suara lirih. Sejak insiden salah kamar di Bogor, tak lagi bicara ketus. Pun memanggilnya seperti dulu.

Malu, mungkin. Padahal aku sudah melihat tubuh indahnya. Bagaimana jika dia tau? Pikir Diaz.

Mereka baru saja makan malam.

"Umar, coba panggil Pak Gurfon kemari." Diaz mengajak Kinanti berpindah ke ruang tengah.

Kedua suami istri datang menghadap.

"Jadi gini, Tuan. Saya ingin menyaksikan nikahan ponakan di Lampung. Boleh?"

"Kamu mengharapkan jawaban itu, bukan?" Nada suara Diaz berwibawa.

"Iya, sihh." Pak Gurfon tersenyum canggung. Diaz Akbar tak seperti Tuan Barry yang cerewet tapi ramah.

"Lima hari?"

"Atuh kurang lama itu mah, Tuan. Nyeri awak hungkul, ngapung di kapal," tawar Bi Cicih.

"Hhmmm ... seminggu?"

"Sepuluh hari ya, Tuan. Biar merenah." Bu Cicih membujuk.

"Kapan kalian pergi?" tanya Kinanti.

"Besok siang."

"Ohh ...." Kinanti terkejut. Berarti mulai besok, tak akan ada yang melakukan pekerjaan rumah. Dia menyesal tak mau membiasakan diri dengan keadaan barunya. Hanya kakinya yang sudah bisa berjalan seperti dulu. Umar rajin membantunya berlatih. Di samping terapis yang datang tiga kali seminggu ke rumah, kontrol seminggu sekali ke rumah sakit.

"Ya sudah, sana berkemas."

"Baik, Tuan. Hatur nuhun." Bu Cicih dan Pa Gufron undur diri.

"Berarti mulai besok ...."

"Mama tenang aja. Papa pintar merawat rumah," jawab Umar sigap.

"Kamu bantu, ya?" pinta Diaz pada putranya.

"Siap, Bos. Umar nyapu, Papa--"

"Ngepel. Papa nyuci, kamu ...."

"Jemur. Papa masak, aku makan."

(Bukan)  Cinta TabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang