"Makanlah, Nyonya. Mari, saya bantu." Lusi meraih tangan Kinanti dan membawanya untuk memegang pisau. Satu tangan lain memegang garpu.
"Ini steak. Potong di sebelah sini." Tangannya terus menuntun.
Tiba-tiba gerakan Kinanti berhenti.
"Lusi, berapa umurmu?"
"Dua puluh tujuh. Saya meninggalkan Filipina karena harus menghidupi putra saya."
"Ke mana suamimu?" tanya Kinanti heran.
"Kami bercerai. Dia berselingkuh." Lusi tertawa renyah. Persis seperti beberapa pekerja Indonesia yang mengadu nasib ke luar negeri. Mencari kehidupan yang lebih baik. Kinanti pernah menghadiri seminar yang diadakan para buruh migran saat bertugas di Sekolah Indonesia Singapura. Peribahasa terbalik, hujan emas di negeri orang lebih baik dari hujan batu di negeri sendiri. Pasangan berkhianat, tak berpenghasilan, dicaci lingkungan karena tak becus menjaga pasangan yang tak setia, akhirnya terbang ke negeri seberang. Pulang kampung bikin pangling. Meski tak sedikit yang nasibnya kurang beruntung.
Kinanti membayangkan suster yang merawatnya seorang wanita cantik berkulit putih yang biasa dilihat di serial drama Filipina yang suka ditonton Rahma. Umur dua puluh tujuh tahun? Sedang ranum-ranumnya. Perasaannya tak nyaman. Jejak Diaz Akbar yang pernah melahap asistennya di rumah sakit hingga memiliki anak dari perempuan itu, begitu mengerikan.
"Ehhmmm ... kata Tuan Barry, kau pernah menjadi perawat di Singapura. Mengapa berhenti?"
"Nenek yang saya rawat meninggal. Saya tak nyaman tinggal di sana karena majikan laki-laki bersikap kurang ajar. Saya mengadu ke kedutaan yang kemudian meneruskan kasus ke kantor Tuan Barry. Akhirnya terdampar di sini." Kinanti terhenyak. Ketakutannya menjadi-jadi.
Kinanti ingat, dulu Barry pernah memberi bantuan hukum salah satu pekerja Indonesia. Di acara yang mempertemukan beberapa orang di masa lalu. Dua kubu yang pernah berseberangan mendadak saling menguatkan. Entah karena solidaritas satu bangsa atau kepentingan politik yang sama. Yang pasti, hidupnya berantakan. Kedok Diaz Akbar terbongkar.
Tidak, dia tak lagi menyukai Diaz Akbar. Perasaannya sudah mati. Hambar. Bahkan tak nyaman jika berbincang dengannya. Seperti berhadapan dengan orang asing. Canggung. Namun, jika Diaz terlibat skandal dengan wanita, Kinanti akan ikut malu karenanya. Takut akan malu, lebih tepatnya.
=====☘️☘️☘️=====
"Jangan begitu, Kinanti. Beri Diaz kepercayaan. Belum juga suamimu pulang dinas, kau sudah membayangkan yang iya-iya. Kau ini paranoid sekali. Persis seperti kisah istri pencemburu di sinetron Indonesia. Gak bermutu tapi banyak iklannya!" omel Barry sambil menutup telepon.
Kinanti menghela napas berat sambil memegang ponsel jadul yang ada tombolnya. Mengadu pada mertua cerewet tak mendatangkan keuntungan.
=====☘️☘️☘️=====
"Coba, ulangi lagi. Nun mati ketemu ba hukumnya iqlab. Bibir bawah dan atas ketemu. Jadi, bacanya mimmbaini ...." Kinanti memberi contoh dengan merapatkan kedua bibirnya.
"Yakhruju mimmbainishshulbi wattaraaib(i)." Umar membacakan ayat ke tujuh Surat At-Troriq dengan tartil.
"Lanjutkan."
Kinanti kagum dengan kemampuan Umar. Baru berumur lima tahun tapi cerdas sekali. Dia tak tega menularkan kebencian pada bocah bermata abu dan berambut ikal.
Matanya terpejam menikmati suara merdu Umar dengan syahdu. Namun perlahan, raut mukanya berubah muram. Sebagian arti surat itu mengingatkan bahwa dirinya belum menjalankan kewajiban sebagai istri dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Cinta Tabu
RomanceTumbuh bersama dalam keluarga baru tak menjadikan Diaz Akbar benar-benar menganggap Kinanti sebagai adiknya. Mereka, menjalin hubungan asmara. Keluarga disorot karena hal yang dipandang tabu oleh masyarakat. Setelah sekian tahun 'menepi' untuk mere...