15. Aku di Sini

822 134 7
                                    

"Saat kecelakaan terjadi, pria itu sedang menghabiskan malam bersamaku. Sepanjang malam .... Pria itu sedang menghabiskan malam bersamaku. Sepanjang malam."

"Bukti ini tak terbantahkan, Yang Mulia. Dokter Diaz Akbar tak ada di rumah sakit saat kecelakaan terjadi. Dia sedang memadu kasih bersama wanita ini ... Dia sedang memadu kasih bersama wanita ini ... Dia sedang memadu kasih bersama wanita ini."

Suara Bella Ardiasti Wilson dan Frans Situmorang di pengadilan kembali berdengung. Berulang-ulang.

Kinanti bangun dengan tubuh bersimbah keringat. Napasnya cepat. 

"Astaghfirullah'aladziim."

Matanya mengerjap berulang, pusing. Cukup lama duduk menenangkan diri. Dilihatnya ponsel. Pukul satu dini hari.

Hampir empat tahun. Mimpi buruk itu selalu datang menghantui. Seperti saat ini.

Kinanti beranjak ke kamar mandi. Mengguyur tubuh yang berkeringat. Tak baik sebenarnya melakukan ini. Hanya saja, dia tak punya pilihan. Kepalanya lebih cepat membaik daripada mengkonsumsi obat-obat psikiater yang mulai ditinggalkannya.

Suara hatinya berkata,
"Ini hukuman untukmu karena merebut Diaz dari Alma." Rasa sakit pun, terpelihara.

Kinanti menghidu kopi. Menyesapnya sedikit demi sedikit. Memandangi langit malam. Sampai pagi menjelang, dia tak lagi bisa memejamkan mata.

=====☘️☘️☘️=====

"Mata panda. Mimpi buruk lagi?" tanya Bu Emilda. Teman sekantor yang flatnya bersebelahan. Wanita setengah baya yang masih betah melajang.

"Biasa, Bu. Lagi dapet." Kinanti menjawab sekenanya. Moodnya buruk karena kurang tidur dan siklus bulanan yang mengganggu.

Mereka bersisian menuruni tangga. Tinggal di lantai tiga terlalu jauh menuju pintu lift. Bergerombol di jalananan bersama para pekerja kantoran menuju halte.  Menaiki bus ke sekolah.

Begitu bel masuk, Kepala Sekolah mengadakan briefing pagi.

"Pihak KBRI mengkonfirmasi, rombongan Gubernur dan Komisi Sembilan akan datang minggu depan. Bu Emilda, bagaimana persiapan pentas siswa?"

"Siap, Pak. Satu lagu wajib, lagu daerah serta tarian tradisional telah dikuasai siswa. Tinggal kostum tambahan yang belum lengkap." 

"Oke. Bu Kinanti, seperti biasa jadi pembawa acara."

"Baik, Pak."

"KBRI sibuk melakukan lobi politik. Mereka menyerahkan penyambutan ini kepada pihak sekolah."

=====☘️☘️☘️=====

"Terima kasih atas penyambutan Bapak Duta Besar dan siswa siswi Sekolah Indonesia Singapura. Kami merasa terhormat. Semoga kedatangan kami memberi kekuatan moral bagi warga Sumatera Utara yang juga
pekerja migran yang diduga mengalami kasus kekerasan fisik oleh majikannya, Ibu Rita Sitompul. Warga Sumatera Utara, ada bersama Anda." Frans Situmorang, Gubernur Sumatera Utara, menutup sambutannya diiringi tepuk tangan hadirin.

"Baik, sambutan berikutnya oleh Ketua Komisi Sembilan yang membidangi Kesehatan dan Ketenagakerjaan, Bapak I Made Makkawaru. Waktu dan tempat, kami sediakan." Suara Kinanti bergetar hebat. Tiba-tiba, orang-orang yang tersangkut kasus Diaz Akbar hadir di hadapannya. Dan di sana, bersama para pejabat penting ada ....

"Kamu nggak apa-apa? Wajahmu pucat." Bu Emilda menghampirinya. Memberikan segelas air pada Kinanti.

"Terima kasih, Bu."

"Ayo, sini duduk. Kamu terlalu lelah menyiapkan acara ini." Bu Emilda mengajaknya ke pojokan. Agak tersembunyi di belakang panggung utama.

Kinanti memberikan perhatiannya pada orang yang sedang berbicara di depan.

"Kasus ini menyita perhatian publik. Menimbulkan kemarahan warga. Puji syukur desakan kami agar ditangani pengacara berpengalaman ditanggapi dengan sangat baik oleh pemerintah. Mari kawal sehingga memberikan keadilan bagi warga kita. Kasus ini, cerminan harga diri bangsa." Politikus kawakan itu menutup prakata dengan gemuruh patriotisme ala kampanye.

Kinanti berdeham menghilangkan gugup.
"Selanjutnya, sepatah dua patah kata oleh Bapak Duta Besar Indonesia untuk Singapura. Kepada Bapak Andi Rusdi Darussalam, dipersilakan naik ke panggung utama."

Orang-orang ini berkumpul di satu meja. Melupakan fakta bahwa dulu mereka pernah berada di kubu yang berlawanan. Apakah ini artinya, aku pun harus keluar dari persembunyian? Menjalani hari seperti mereka seolah tak pernah terjadi apapun.

"Terima kasih atas dukungan Bapak Gubernur maupun Dewan terhormat. Kami selaku perwakilan pemerintah sudah memutuskan bahwa penyelesaian kasus ini harus cepat, ditangani orang yang tepat. Jangan sampai merusak hubungan baik kedua negara Barry Legrand Akbar, seorang kawan lama. Lawyer yang mengerti budaya Indonesia. Seluruh rakyat Indonesia meletakkan harapan di pundak Anda." Barry berdiri dengan penuh hormat.

=====☘️☘️☘️=====

Kinanti membasuh mukanya di toilet.  Sudah lama dia tak pulang ke Indonesia. Keluarganya lah yang datang berkunjung diam-diam jika tak dapat menahan rindu. Terakhir, mereka bertemu setelah lebaran tahun lalu. Tentu tanpa sepengetahuan Diaz Akbar.

Saat tengah asyik melamun di depan wastafel, seseorang terpekik melihatnya. Kinanti menoleh cepat ke cermin.

"Kinanti, kamu ada di sini? Ya, ampuunnn ...."

Vania menatapnya dengan takjub. Seorang gadis kecil ada dalam gendongannya.

"Kak Vania, apa kabar?" Kinanti berbalik dan tersenyum canggung.

Wanita itu menurunkan si kecil. Dengan cepat merengkuhnya. Kinanti terpaksa menundukkan badannya. Sudahkah dia bercerita bahwa mantan pacar Diaz seorang wanita cantik bertubuh mungil dengan pribadi yang menyenangkan? Itu mungkin yang membuat Diaz Akbar selalu kembali jatuh dalam pelukannya.

=====☘️☘️☘️=====

"Papa menyuruhku ke Australia setelah kasus itu semakin ramai dibicarakan orang. Tampaknya beliau keberatan aku lebih terkenal darinya." Vania terkekeh. Kinanti tersenyum sumir.

Vania mengajaknya bertemu di kafe setelah acara semalam di KBRI.

"Kinanti, terakhir kami bertemu di bandara. Hampir empat tahun lalu. Dia baru saja pulang dari Rusia setelah tak menemukanmu di sana." Kinanti tertunduk mendengar kata-kata Vania. Pura-pura mengaduk jus strawberry. Sensasinya sama dengan jus jambu. Kinanti tak mendapati buah itu di kafe ini.

"Maaf jika hubungan kami menyakitimu. Diaz, selalu menyebut namamu dalam tidurnya." Kinanti melengos. Dia tak pernah tahu kebiasaan Diaz saat tidur. Bagaimana bisa perempuan ini mengatakan itu dengan ringan. Ah, dia teman tidurnya bukan? Pasti tahu kebiasaan-kebiasaan kecilnya. Atau bahkan hapal setiap inci tubuhnya.

"Mommy, ayo cepat. Daddy udah nunggu." Gadis kecil yang semalam digendong Vania, menghampiri. Seorang pria bule berdiri di pintu masuk. Tersenyum ke arah mereka.

"Maaf, aku nggak bisa lama. Laura gadis udik. Dia menghabiskan hidupnya sama sapi di peternakan. Makanya aneh lihat kota." Kembali Vania tertawa. Dia berpamitan menghampiri meja kasir.

Begitu cepatnya orang-orang berubah. Berbahagia. Memiliki kehidupannya sendiri. Dan aku di sini, memenjarakan diri dalam kesakitan tak bertepi. Pandangannya nanar melihat kepergian keluarga kecil yang tampak bahagia.

Tiba-tiba ponselnya berdering.

"Kamu lagi ada di mana?" Seseorang berbicara dari seberang. Suaranya terdengar tak sabar.

"Eh, Mas. Maaf, lupa." Tangan Kinanti bergerak memasukkan dompetnya ke dalam tas. Saat Vania mau pergi, wanita itu menahan tangannya untuk tak membayar tagihan.

"Kebiasaan nih." Lawan bicara berdecak kesal.

"Sini, Mas kangen."

"Iya ... Iya ... Iya." Kinanti berdiri. Dia harus bertemu pria ini, yang selalu berhasil mengembalikan suasana hatinya yang buruk.

(Bukan)  Cinta TabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang