"Kutebas lehermu kalau nanti malam anakku masih berteriak kesakitan!" gertak seorang pria berkumis tebal sambil mengacung-acungkan goloknya.
Benjolan di leher sudah diambil beberapa hari lalu. Saat obat pereda nyeri habis, tubuh pasien tak dapat mentoleransi rasa sakit pasca operasi.
Diaz hanya tersenyum menanggapi ayah si sakit. Tak lagi gentar. Dia sudah terbiasa mendapat perlakuan serupa.
Tinggal di perbukitan berpesisir, di kabupaten yang berada di kaki Celebes. Menghadap Laut Flores.
Tempatnya bekerja hanya klinik kecil. Bangunan rumah yang dirombak alakadarnya. Bagian depan dijadikan tempat praktek. Bagian belakang untuk tidur. Berada di samping rumah suami isteri paramedis yang setia membantu. Barry berbaik hati mengirimkan peralatan bedah modern untuk melengkapi fasilitas yang ada.
Akses yang sulit ke kota, kebutuhan warga menikmati layanan kesehatan, sampai pertarungannya dengan tradisi yang masih meragukan pengobatan modern. Dicaci dan dicari. Begitulah nasibnya.
"Adakah pasien lain setelah ini?" tanya Diaz pada Bu Aini, tetangga sekaligus paramedis yang mendampingi. Bersandar lelah. Kedua tangan menutup mulut yang menguap lebar.
"Tak ada, Pak Dokter. Kau boleh beristirahat."
Matahari sudah berubah jingga saat Diaz keluar klinik. Seharian dia menangani operasi pengangkatan tumor karena kesulitan membedakan dengan jaringan sehat di sekitarnya. Sendirian, hanya dibantu paramedis sepuh. Nekat.
Kenekatannya berbuah kesuksesan. Tersebar dari mulut ke mulut. Namun, Diaz selalu menolak tawaran bekerja di rumah sakit besar di kota.
Perjalanan hidup empat tahun ini berhasil mengingatkan Diaz pada filosofi Sumpah Hipocrates. Bahwa profesinya, sungguh mulia. Bukan ajang pamer standar intelektualitas di atas rata-rata atau hal materialistik lain. Apalagi jika mengingat kebiasaan lamanya. Menyimpang jauh dari nilai-nilai agama. Pesisir, mengajarkannya banyak hal.
Dulu, saat kasus etik masih berproses, Diaz misuh-misuh harus pergi ke tempat ini. Waktunya berlipat perjalanan ke Jakarta. Membuatnya cape harus bolak-balik Makassar-Jeneponto.
Diaz naik ke bukit. Menatap keindahan pantai. Mengucap syukur Allah kembali memberikannya kesempatan menyelamatkan sebuah nyawa.
Tangannya terentang tinggi sambil menggoyang-goyangkan ponsel. Diaz melakukan ini beberapa kali dalam sehari jika ingin berkirim pesan dan memastikan diri ada pesan masuk.
Tak lama ponselnya mengeluarkan suara. Terbaca ada notifikasi pesan masuk.
Mama
[Pulanglah, keluarga kita akan mengadakan acara. Ayah sudah menghubungi Dokter Syam untuk mengijinkanmu pergi]Diaz Akbar membuka pesan dari Rahma. Dia termenung. Tak tahu acara besar apa yang akan dilangsungkan di rumah.
Sejak pernikahan Bagas, selain beberapa sepupu yang menikah, tak pernah ada perhelatan di keluarga besarnya. Hampir empat tahun dia tak pulang.
"Cinta itu harus dilandasi keimanan. Iman mampu membawa diri melabuhkan hati pada pribadi suci." Petuah Dokter Syam akan selalu diingatnya.
Membesarkan hatinya. Setidaknya, perasaannya pada Kinanti berbeda dengan yang dirasakan pada perempuan lain. Namun, imannya sangat lemah. Terkalahkan oleh syahwat sehingga hatinya berlayar tak tentu arah. Berlabuh ke banyak pelukan surgawi palsu.
"Papa ... Papa .... Sudah azan magrib. Teman-teman menungguku mengaji di surau." Bocah kecil bermata bening berlari menghampiri.
"Ayo kita pergi." Mereka bergandengan tangan menuruni bukit. Menghadirkan siluet indah berlatar matahari senja.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Cinta Tabu
RomansTumbuh bersama dalam keluarga baru tak menjadikan Diaz Akbar benar-benar menganggap Kinanti sebagai adiknya. Mereka, menjalin hubungan asmara. Keluarga disorot karena hal yang dipandang tabu oleh masyarakat. Setelah sekian tahun 'menepi' untuk mere...