"Sibuk banget, ya, sampe lupa punya sodara di tanah rantau," sindir Hutama dari balkon. Pria itu berbicara membelakangi. Terlihat cool. Kepalanya mengarah ke bawah.
Kinanti tertawa ringan. Dia segera menyusul keluar. Meraih tangan yang bertelekan railing balkon dan menciumnya. Perlakuan tiba-tiba yang membuat Hutama terperanjat.
"Apa kabar, Mas?"
"Eh, jangan kek gini. Kesannya Mas udah tua." Hutama mengibaskan tangannya.
"Hhmmm ... emang udah tua."
Kinanti melirik ke bawah. Ke kolam renang yang dipenuhi para wanita muda."Pantes. Asyik mindai."
Didorongnya tubuh Kinanti ke dalam apartemen.
"Ntar matanya bintilan lho!" ledek Kinanti.
"Udah." Tama membuka kacamata hitamnya. Menunjukkan satu mata yang sedikit bengkak.
"Biar adil mesti bengkak dua-duanya. Ngintip lagi."
"Beraninya ngintip doang. Disamperin cewek, lari," ledek Kinanti.
"Aku kan pemalu."
"Ish ... faktanya malu-maluin!" Selain dengan Bagas, hanya dengan Hutama, Kinanti berani bercanda.
Seorang wanita muda meletakkan secangkir teh di atas meja kopi dan berucap.
"Kayaknya gulanya kebanyakan deh. Maklum, bikinnya sambil ngelamun." Mukanya kusut. Terakhir saling berkabar, Tari mengeluh pusing dengan tugas akhir di kampus.
"Makasih, Tari."
"Ngapain Kinanti dibikinin minum segala. Kayak tamu aja," celetuk Tama.
Dua bersaudara tinggal di apartemen mewah. Keduanya anak Uwa Sasti. Hutama, saudara sepersusuan Kinanti. Dia bekerja di perusahaan teknologi. Adiknya, Tari, sedang menyelesaikan pendidikan di salah satu kampus di negeri singa.
"Mana koper kamu?" Hutama mencari-cari sesuatu.
"Aku cuma maen, kok." Kinanti melesakkan pantatnya di sofa panjang. Duduk bersisian dengan Tari.
"Kamu ini, betah banget tinggal di tempat kek gitu."
"Di sana enak, Mas. Ke mana-mana deket."
"Iya, strategis. Ke kamar cuma tiga langkah. Ke toilet lima langkah. Ke dapur tujuh langkah." Hutama berdecak sebal.
"Yang Mas sebutin bilangin prima."
"Mentang-mentang guru matematika." Tari mencibir. Kinanti terkekeh.
Mereka tak pernah bosan mengajaknya tinggal bersama di hunian eksklusif ini. Kinanti tak tertarik karena ....
Tiba-tiba bel berbunyi.
"Biar Mas yang buka." Hutama yang paling dekat dengan pintu masuk memindai dari dalam. Wajahnya tersenyum cerah. Dia segera membukakan pintu.
"Naahhh ... kalo yang ini beneran tamu!" ucapnya sambil meraih bahu seorang pria muda.
"Assalamu'alaikum. Halo, Kinanti. Apa kabar?" Senyum manis terukir di pahatan wajahnya yang sempurna, wajah Timur Tengah. Janggut tipis menghiasi dagunya.
Kinanti terkesima. Kemudian berdeham.
"Waalaikumusalam. Alhamdulillah baik, Fanza."
=====☘️☘️☘️=====
Flashback
Hari sudah larut. Hujan gemericik sejak sore. Dua orang siswa berseragam berdiri di luar pos satpam. Menghindari asap rokok yang memenuhi ruang sempit berukuran dua kali dua meter. Berdiri saling menjauh tanpa bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Cinta Tabu
RomanceTumbuh bersama dalam keluarga baru tak menjadikan Diaz Akbar benar-benar menganggap Kinanti sebagai adiknya. Mereka, menjalin hubungan asmara. Keluarga disorot karena hal yang dipandang tabu oleh masyarakat. Setelah sekian tahun 'menepi' untuk mere...