19. Undangan

864 140 9
                                    

[Ayahmu sakit. Dia dirawat di .....] Meminjam ponsel Tari, Kinanti mengirim pesan pada Diaz Akbar.

=====☘️☘️☘️=====

"Terima kasih kau mengurusku, wanita muda." Kalimat yang diucapkan Barry tak tulus. Dia penasaran dengan wanita yang sering menengoknya.

"Sama-sama, Tuan."

"Siapa kau sebenarnya?" Selidiknya curiga. Terbiasa menangani kasus hukum, membuatnya selalu waspada.

"Saya tetangga Anda." Kinanti tersenyum samar menjawab pertanyaan Barry.

"Hhummm ... kau mirip seseorang." Ingatan Barry melayang pada mantan istrinya. Bagaimana kabar Rahma? Dia pasti sudah pensiun. Menikmati hari tua yang bahagia bersama Nugraha. Sedangkan aku di sini, sendiri. Sakit pun ditolong orang asing. Mengenaskan.

"Maaf, apakah Anda tak punya keluarga?" pancing Kinanti.

"Keluarga? Hhh ... Si bodoh Diaz terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri. Dia selalu mengkhayal wanita itu akan kembali padanya. Oh iya, kenapa bukan kau saja yang jadi menantuku?" Mata abunya mengerjap jenaka. Mirip Diaz saat menggoda.

"Saya ... saya sudah akan menikah."

"Sudah ... akan ... menikah. Artinya, belum menikah, kan?" Kini Kinanti tahu, sifat menyebalkan Diaz menurun dari papanya.

"Tidurlah, Anda perlu istirahat, Tuan." Kinanti melihat perawat masuk. Melakukan pemeriksaan rutin sebelum visitasi dokter.

Kinanti menuju sofa. Dia sudah membereskan semua pekerjaannya di sekolah. Beberapa barang sudah pula dibawa saat kepulangan sebelumnya. Tinggal menunggu waktu ke Indonesia. Karena itu leluasa menemani tetangga tua yang cerewet. Lusa, dia akan pulang bersama Hutama dan Tari yang juga akan menghadiri pernikahannya.

Tari bilang, Diaz hanya membaca pesan yang dikirim via ponselnya. Seburuk itukah hubungan mereka?

=====☘️☘️☘️=====

"Lihat wanita itu! Dia lebih baik darimu!" maki Barry pada Diaz. Dia membuka tirai. Memperlihatkan seorang wanita yang menyandar di lelah di sofa. Matanya terpejam.

Diaz menatap takjub wanita yang dalam tidurnya pun, terlihat sungguh mempesona. Sleeping beauty.

"Dia menolongku saat terkena serangan jantung. Setiap hari menengok ke rumah sakit sedangkan anakku sendiri baru datang saat aku sudah hampir sembuh." Kalimat-kalimat yang Barry ucapkan dengan suara kencang membuat Kinanti mengerjap-ngerjapkan mata.

"Ya Allah ... ketiduran."

Begitu membuka mata, dilihatnya Diaz sedang memandangnya tak berkedip.

Kinanti berdeham. Memperbaiki posisi duduk di sofa.
"Maaf, Tuan Barry. Putra Anda sudah datang rupanya."

"Tunggu dulu. Aku tak pernah bilang kalau laki-laki beruban ini anakku. Bagaimana kau bisa tau?"tanya Barry curiga.

Kinanti tersenyum.
"Saya pikir, orang yang melihat kalian akan mengatakan seperti yang saya ucapkan. Bagai pinang dibelah dua." Kelakuan juga sama, pikir Kinanti.

"Tentu tidak. Ubannya lebih banyak dariku," decak Barry. 

"Papa kan pake semir rambut. Kulit kencengan aku." Diaz berkelit.

"Wanita itu membuatmu terlihat jauh lebih tua. Aku heran kau menghabiskan banyak energi untuk mencarinya." Qorina pernah bercerita jika dulu Bu Inggar mendapatkan laporan dari anak buahnya bahwa ada seorang pria mencarinya. Mungkinkah itu Diaz?

Muka Diaz bersemu merah. Dia menghindari tatapan Kinanti.

=====☘️☘️☘️=====

"Sayang kau sudah akan pulang ke Indonesia. Padahal, kita baru saling mengenal." Setelah keluar dari rumah sakit, Barry mengundang Hutama, Kinanti, dan Tari ke apartemennya.

(Bukan)  Cinta TabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang