"Mama mana?"
"Gak ada. Pergi sama Om Bagas."
"Kapan?"
"Sejak Papa pergi. Besoknya, Om Bagas ke sini jemput Mama."
"Ah, ya. Salam untuk Nenek dan Tante Giska."
Ayah dan anak berbalas salam. Diaz menutup sambungan telepon. Sudah empat hari dia berada di Belanda. Artinya, sudah tiga hari pula Kinanti meninggalkan rumah tanpa meminta ijinnya. Diaz mengerti. Mungkin Kinanti jenuh. Hanya sesekali berkunjung ke Bogor atau Lapas. Pasti menjemukan. Dia tak pernah mau diajak berlibur atau pergi ke keramaian.
=====☘️☘️☘️=====
"Pak Gusman sedang mengurus administrasi bebas bersyarat Ayah." Kinanti menyebut pengacara baru Nugraha.
"Ya." Diaz menjawab lemah. Hanya itu yang bisa diucapkan.
"Abang kenapa?" tanya Kinanti cemas.
"Demam." Suaranya parau.
"Ya, sudah. Istirahat." Kinanti menutup telepon setelah mengucap salam.
Dia menghubungi nomor lain.
"Assalamu'alaikum, Dokter Sekar." Terdengar jawaban dari seberang.
"Maaf, dengan siapa suami saya pergi ke Eropa?"
"Saya bisa minta nomornya?"
"Baik, terima kasih."
Kinanti kembali menghubungi nomor lain.
"Assalamu'alaikum, Dokter Dimas. Saya istri Dokter Diaz. Bisa tolong tengok suami saya. Tampaknya dia kurang sehat."
=====☘️☘️☘️=====
Diaz senyum-senyum sendiri membaca pesan dari Sekar. Menceritakan Kinanti yang meneleponnya dengan terburu-buru.
Tenggorokannya sakit dan deman. Efek perubahan cuaca dan daya tahan tubuh yang menurun. Terpaksa satu hari tak bisa mengikuti seminar. Setelah Dimas memberikannya obat, keadaannya sudah lebih baik.
Padahal mereka tak pernah saling berkabar. Tumben saja hari itu Kinanti meneleponnya. Apakah, sudah ada kontak batin antara suami istri?
"Aku janji, awal tahun nanti bakal ngajakin kamu ke Moskow, Bidadari." Diaz tersenyum memejamkan mata merangkai mimpi indah.
=====☘️☘️☘️=====
"Papaa ...."
"Omm ...."
Dua bocah menghambur ke pelukan Diaz yang keluar dari mobil MPV.
"Ya, ampun. Kalian tambah berat." Diaz menggendong Umar dan Syamil.
Sopir rumah sakit mengeluarkan koper.
"Dokter, maaf saya harus segera mengantar Dokter Dimas pulang."
"Ya." Diaz mengangguk pada rekan sejawatnya yang tak turun dari kendaraan.
"Ayo, kita masuk. Nenek masak makanan kesukaan Om." Syamil turun dan meraih tangan kiri Diaz.
"Tante Giska bikin minuman kesukaan Mama." Umar masih bergelayut manja.
"Tunggu sebentar." Diaz menurunkan si kecil dan berbalik arah menuju taman.
"Ayo!" Tiga pria berbeda usia memasuki rumah.
"Assalamu'alaikum. Aku pulang." Suara Diaz Akbar menggema di seisi rumah.
"Haduuhhh, bikin kaget aja," omel Giska sambil menjawab salam. Sedikit minuman berceceran di atas meja. Dia sedang menuang jus jambu.
Rahma bergegas menghampiri. Mengusap lengan Diaz.
"Kata Kinan, Abang sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Cinta Tabu
RomanceTumbuh bersama dalam keluarga baru tak menjadikan Diaz Akbar benar-benar menganggap Kinanti sebagai adiknya. Mereka, menjalin hubungan asmara. Keluarga disorot karena hal yang dipandang tabu oleh masyarakat. Setelah sekian tahun 'menepi' untuk mere...