8. Pindah

786 128 18
                                    

"Beneran boleh, Mbak?" Mata Bagas berbinar.

"Kamu dari dulu beda dari kebanyakan laki-laki, Dek. Pengin nikah muda," sahut Kinanti gemas.

"Yeee .... Kata temen, enaknya nikah tuh ada yang doain. Lagian, kodratnya wanita gak mau diajak sengsara. Makanya, nikah sebelum punya apa-apa dan jadi apa-apa. Kalo istri gak tahan, doanya tambah banyak. Bagas tinggal meng-amin-kan sesering mungkin. Eh, tiba-tiba kebeli mobil. Punya rumah bagus," seloroh Bagas.

"Semprull ... Mbak gak gitu, ah." Kinanti tergelak.

"Masa? Kalo beda, kenapa naksir dokter bedah?" sindir Bagas. Kinanti berdeham.

"Daripada ngalor ngidul gak jelas, Mbak kasian sama kamu kalo Qorina ada yg ngembat," ledek Kinanti mengabaikan ucapan adiknya. 

"Ujungnya gak ngenakin!" timpal Bagas kesal.

"Eh, tapi aku beneran nanya. Mau sampe kapan Mbak nungguin Abang? Dia kan begitu," tanya Bagas dengan suara pelan.

Kinanti tak menanggapi.
"Udah malem, sana pergi! Sampein sama Qorina kalo Mbak udah ngerestuin kalian!" Kinanti mendorong tubuh Bagas keluar kamar. Segera pintu dikunci. Tubuhnya bersandar di daun pintu.

Pandangannya tertumbuk pada benda bergambar di atas meja. Barisan tanda silang memenuhi hitungan bulan di kalender. Ini benda ketiga yang dihiasi tanda serupa. Kinanti bergerak maju. Matanya mengembun. Tangannya bergetar menyentuh deretan angka yang berjejer rapi. Ada dua benda lainnya tersimpan di laci meja. Dengan simbol yang sama.

Dua tahun empat bulan enam hari. Selama itu pula Diaz Akbar pergi dan tak pernah pulang. Pesan-pesan manisnya masih diterima.

Hingga tak terasa Bagas sudah lulus kuliah dan diterima bekerja di Bandung. Kini, dia berniat meminang gadis pujaan hati. Berat hati meminta izin Kinanti untuk melangkahinya lebih awal.

=====🍎🍎🍎=====

"Semoga prosesnya dimudahkan sampai hari H." Penuh senyum, Rahma memasukkan cincin ke jari manis Qorina. Gadis itu mencium tangannya disusul peluk hangat keduanya. Acara pertunangan Bagas dengan Qorina berlangsung khidmat.

"Saya senang Qorina menikah dengan pria yang sudah kami kenal sejak lama," kata Bidan Sukma, ibunda Qorina.

"Ya, mesti sama siapa lagi. Bagas dan Qorina temen sekolah. Kuliah juga bareng di Bandung. Orang tua dan keluarga saling tau." Nugraha tersenyum membalas ucapan calon besannya. Sebelum pensiun, Bidan Sukma adalah anggota timnya di poli kandungan dan kebidanan.

"Lebih mantap jika kakak-kakaknya juga didekatkan," sahut Mimih Ami, neneknya Qorina, tanpa tedeng aling-aling. Nenek Asmi tersenyum sambil merengkuh pundak Kinanti yang hanya tersenyum kecil.

Kakak sulung Qorina, Aulia, masih lajang. Saat sambutan khitbah, dia berkata.

"Saya sangat berpengalaman menjabat tangan mempelai pria di hadapan penghulu. Menjadi wali nikah dua adik. Sebentar lagi, tangan Bagas akan menjadi tangan ketiga yang saya pegang. Menggemaskan untuk Bagas. Mengenaskan untuk saya."

Kalimat panjang yang diucapkan dengan muka datar. Disoraki adik dan sepupu-sepupunya.

=====🍎🍎🍎=====

"Bu Kinanti masih nunggu dia? Sampai berapa lama?" tatapan tajam Pak Harsa menghunusnya. Tiba-tiba seorang rekan pria duduk di depannya. Kinanti menghentikan aksinya yang sedang mendengarkan musik klasik. Menyepi sendiri di pojok ruang guru menjadi kebiasaannya. Sejak lebih dari dua tahun lalu. Terlalu malas menanggapi rumor yang beredar.

"Saya tak harus menjawab pertanyaan tak penting," ucap Kinanti ketus. Dia kembali memasang earphone dan melanjutkan pekerjaannya. Mengoreksi hasil ulangan siswa yang menggunung di akhir semester.

(Bukan)  Cinta TabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang