Chapter 27

6 3 0
                                    

"Assalamu'alaikum."
Ucap Dimas sambil mengetuk pintu depan rumah Pak Kades.
"Permisi...." Ucap Dimas sambil kembali mengetuk pintu depan rumahnya.
Terdengar suara telapak kaki yang menuju kearah pintu, hati dan perasaan Dimas sedikit tegang dan malu, berdebar jantungnya dengan begitu sangat kencang.
"Iya wa'alaikumussalam." Ucap seseorang, suatanya terdengar seperti suara Ibu-Ibu.

Lalu dibukakannya pintu rumahnya.
"Wa'alaikumussalam, iya, ada yang bisa saya bantu?"
"Oiya Bu, ini saya mau nganterin pekarang punya Pak Kades, kemarin dipinjem Pak Ismail." Ucap Dimas sambil memberikan pekarang itu.
"Ooooh, hehe iya, oooh ini keponakannya Pak Ismail itu, hehe, ganteng juga, tinggi pula hehe."
"Hehehe." Dimas hanya tersenyum dengan sedikit rasa malu.
"Oiya Bu saya pamit dulu ya." Ucap Dimas.
"Hmmm, jangan dulu pamit atuh, masuk dulu yu." Ucap Ibu Kades sambil mengajak Dimas untuk masuk.
"Hehehe, aku buru-buru Bu, beneran." Ucap Dimas sambil tersenyum, sebenarnya Dimas ingin masuk, karena ingin lihat kekasihnya Hanifah, namun rasa malu yang begitu besarnya, membuat Dimas untuk tidak menta'ati keinginannya.
"Hmmm, masa enggak masuk dulu, minum teh hangat dulu." Ucap Ibu Kades yang keukeuh mengajak Dimas masuk kedalam rumahnya.
Dimas terdiam sejenak serta berpikir.

"Hmmm, disisi lain aku pengen sekali masuk dan melihat Hanifah kekasihku, tapi aku begitu sangat malu sekali, terlebih masih banyak tugas dirumah Pak Ismail yang belum aku selesaikan." Ucap Dimas dalam hatinya.

Melihat Dimas terdiam, Bu Kades langsung menepuk pundak Dimas.

"Nak, kamu kenapa melamun?" Tanya Bu Kades sambil menepuk pundaknya Dimas.
Dimas merasa kaget.
"Asragfirullah, hehe engga ko Bu, oiya Bu kalau begitu aku pamit dulu ya, mungkin lain waktu aku bisa mampir masuk kedalam hehehe." Ucap Dimas sambil tersenyum menatap wajah Bu Kades.

Dalam hatinya berpikir dan melamun, tidak menyangka juga bahwa yang sekarang ada didepan matanya, kelak akan menjadi Ibu mertuanya.

"Hmmm, yasudah, hati-hati ya." Ucap Bu Kades dengan sedikit merasa kecewa.
"Iya Bu hehe, aku pamit ya Bu, assalamu'alaikum." Ucap Dimas sambil bersalaman mencium tangan Ibu Kades.
"Wa'alaikumussalam hehe." Jawab Bu Kades.

Dimaspun beranjak melangkahkan kakinya untuk segera pulang.
Dalam hatinya begitu sangat merasa senang, walaupun tidak bertemu dengan Hanifah.

"Aku merasa sangat bahagia, respon Ibunya Hanifah begitu baik kepadaku, mudah-mudahan saja beliau jadi Ibu mertuaku nanti." Ucapnya dalam hati sambil berjalan di tepi jalan kerikil.

Tok....tok....tok..... terdengar suara pintu diketuk.

"Hanifah..... Hanifah bukain pintunya, ini Ibu Nak." Ucap Ibu Hanifah.
"Hmmmm, mau apa Bu, Hanifah lagi pengen sendiri, lagi kesal! Ucap Hanifah yang sedang merasa sedikit kesal.
"Ya ampun Nak, kesal kenapa Hanifah putriku." Ucap Ibunya dengan nada yang terdengar begitu lembut.
"Nak, bukain pintunya, ada yang mau Ibu bicarakan, penting banget." Ucap Ibunya sambil membujuk Hanifah.
"Hmmm, pasti tentang pindah, engga deh Bu." Ucap Hanifah yang terdengar masih merasa kesal.
"Bukan Nak, Ibu mau cerita tentang keponakannya Pak Ismail.

Mendengar Ibunya mengucapkan nama keponakan Pak Ismail, Hanifah merasa kaget, dan bertanya-tanya didalam benaknya.

"Apa tadi Dimas kesini, terus mau apa juga Dimas kesini." Ucap Hanifah didalam hatinya dengan sedikit keheranan.
"Tapi....." Ucap Hanifah sambil melihat kearah jendela kamarnya.

"Hanifah, cepet buka dulu, Ibu mau cerita tentang keponakan Pak Ismail tadi." Ucap Ibunya sekali lagi dengan nada yang masih sama.
Karena rasa penasaran yang semakin menjadi-jadi, Hanifahpun segera beranjak dari kasur dan membukakan pintu kamarnya.

"Nah, gitu dong sayang." Ucap Ibunya sambil melangkahkan kakinya dan terduduk diatas kasur.
Hanifahpun terduduk kembali diatas kasur, tepat disebelah kanan Ibundanya.

"Ibu, memangnya siapa keponakan Pak Ismail itu?" Tanya Hanifah sambil menoleh kearah Ibunya.
"Pokoknya keponakan Pak Ismail, laki-laki, terus tinggi kulitnya sawo mateng, kalau menurut Ibu sih dia keren hehe." Ucap Ibunya yang tersenyum sambil menoleh kearah Hanifah.

Hanifah semakin yakin bahwa itu adalah Dimas kekasih hatinya.

"Kenapa Ibu tidak ajak masuk dulu tadi?" Tanya Hanifah
"Hmmm, sudah Ibu suruh masuk dulu, tapi dianya tidak mau, katanya masih ada pekerjaan dirumah Pak Ismail." Ucap Ibunya sambil menoleh kearah Hanifah.
"Kamu kenal tidak Nak?" Tanya Ibunya .
"Setau aku sih, dia namanya Dimas, kemaren sempet ketemu waktu aku main dipesisir pantai Bu." Jawab Hanifah.

Hanifah masih merasa malu untuk jujur kepada Ibunya, bahwa Dimas itu adalah kekasihnya.

"Berarti kamu sudah saling mengenal?" Tanya Ibunya yang menatap Hanifah, kedua alisnya terangkat menandakan sedikit rasa heran.
"Hmmm, iya Bu aku kenal sama dia, tapi dia orangnya misterius sekali Bu." Ucap Hanifah sambil memandang kearah jendela kamarnya.
"Haaaah, misterius ?" Ucap Ibunya yang merasa kaget.
"Iya misterius, dia orangnya pendiem, engga banyak bicara, tapi dia keren dan jago buat puisi, katanya sih cita-cita dia ingin jadi seorang penulis yang hebat, dan suatu saat semua tulisan-tulisannya diakui dunia." Ucap Hanifah sambil menoleh kearah Ibunya, yang begitu serius memperhatikan ucapan anaknya.
"Oooh, mudah-mudahan tercapai cita-citanya." Ucap Ibunya.
"Iyaa Bu, semoga saja tercapai."
"Ehh, kenapa atuh engga pacaran sama dia, atau langsung menikah saja hehehe." Ucap Ibunya yang terdengar nada becanda.
"Hmmm Ibu, aku mau tidur deh ah." Ucap Hanifah yang terlihat kesal didepan Ibunya, namun hati dan perasaannya begitu sangat merasa bahagia mendengar Ibundanya mengucapkan kata itu, pacaran atau menikah saja.

"Hmmm, yasudah kalau kamu mau istirahat, tapi janji ya kamu jangan pundung dan marah lagi." Ucap Ibunya sambil mengelus kepala Hanifah dengan begitu sangat lembut dan tulus.
"Hehehe, iya Bu."
"Nah gitu dong senyum lagi, itu baru anak Ibu." Ucap Ibunya sambil beranjak melangkahkan kakinya meninggalkan kamar Hanifah.

Bersamaan dengan itu, Dimas dan Pak Ismail yang sedang asyik mengobrol di di teras rumah.

"Hahahaha, memang Pak Ismail suka sama yang muda ya hahaha." Ucap Dimas sambil tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, siapa yang tidak suka hahaha, walaupun sudah tua begini, Pak Ismail masih kuat hahaha." Ucap Pak Ismail sambil tertawa terbahak-bahak.
"Hahahahaha." Mereka berdua tertawa dengan begitu sangat lepasnya, kesepian serta kesedihan hilang seketika, beban kehidupan yang sedikit terlupakan pula.

Seperti Ayah dan Anak, Dimas dan Pak Ismail terlihat begitu sangat akrab.

"Oiya Pak, tinggal 2 bulan lagi kita menghadapi bulan Suci Ramadhan." Ucap Dimas sambil menoleh kearah Pak Ismail.
"MasyaAllah, iya ya, tidak terasa pula, mudah-mudahan umur kita sampai Dim." Ucap Pak Ismail.
"Aamiin ya Rabb."
"Sudah siang, engga terasa kita ngobrol disini, hehe." Ucap Pak Ismail sambil melihat kearah jam tangan yang dikenakannya.
"Iya Pak, waktu begitu cepat berlalu." Ucap Dimas sambil melihat keatas langit-langit atap rumah Pak Ismail, masih sama apa yang dilihat Dimas serta bayangannya.

Sarang laba-laba yang terukir begitu sangat rapih, ingatan serta bayangan yang masih selalu setia, kembali teringat kepada Ayah dan Ibunda tercintanya.

                          **********

Kupu-KupuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang