Chapter 9

15 10 2
                                    

Satu minggu telah berlalu, matahari pagi yang masih setia menyapa dan memberikan salam hangatnya, udara yang sejuk yang terasa segar untuk dihirup Dimas seorang diri yang terduduk diatas kursi kayu teras rumahnya, berjemur dan menghirup udara sejuk dipagi hari yang cerah dengan ditemani secangkir teh hangat dan kue odading buatannya.

"Terasa sepi, dirumah tanpa Rendi, hmmm, menyebalkan juga ternyata," ucap Dimas dengan sedikit merasakan kehampaan karena hanya seorang diri yang tinggal dirumah. "Mudah-mudahan Rendi selalu ada dalam lindunganmu ya Rabb..."

Seraya berkata dan berdo'a didalam hatinya untuk Rendi Adik tercintanya, yang sekarang sedang berjuang untuk mewujudkan cita-citanya. Dimas yang masih terdiam duduk diatas kursi kayu, yang dulu selalu diduduki oleh ayahnya untuk berimajinasi sembari berjemur dan menikmati udara sejuk diwaktu pagi, dan menuangkan semua imajinasi serta pikirannya kedalam tulisan. Dengan sedikit harapan tertular pemikiran-pemikiran ide serta gagasan yang ayahnya dahulu punya, sehingga Dimaspun berharap mampu menjadi seseorang yang hebat seperti sosok Ayahnya.

Dimas berpikir terus menerus,dan teringat kembali akan ruangan gudang bekas Ayahnya.
"Oiyaa aku baru ingat, mungkin aku harus kegudang tempat ayah berimajinasi dan menuangkan semua ide serta gagasannya, hmmm, siapa tau aku bisa menemukan hal yang bisa membantuku saat ini, dan tentunya mendapatkan ide serta imajinasi."

Dimaspun beranjak dari teras rumah menuju ke tempat ruangan gudang itu, Dimas membuka pintu ruangan gudang dan masuk kedalam gudang itu serta melihat kembali isi ruangan gudang itu, dipandangnya foto-foto yang bergantung didinding.

"Foto-foto itu mengingatkanku kembali, kepada masa dimana suasana rumah ini masih lengkap."

Dimas mencoba membuka lemari yang belum sempat ia buka pada saat dengan Rendi membereskan gudang itu.

"Aku coba buka deh lemari itu, siapa tau ada sesuatu hal yang dapat aku temukan dan pelajari.
"Dimaspun segera membuka pintu lemari itu, seketika terbuka pintu lemari itu, nampak terlihat tiga buku yang bertumpuk yang sudah ternodai dengan debu.
"Waah, ini buku apa yaa, terlihat keren juga dari judul-judulnya." Dimaspun mengambil 3 buku yang ada didalam lemari itu, lalu ia membersihkan debu-debu yang menempel dibuku itu.

Usai membersihkannya Dimaspun membaca semua judul buku itu, ada 3 judul buku. Satu buku yang berjudul Al-hikam, kedua buku yang berjudul History of western philosophy, dan yang terakhir buku puisi karangan ayahnya yang berjudul Keindahanmu. Dari ketiga buku itu Dimas mencoba untuk mempelajarinya.

"mungkin, ini buku semua judulnya keren, apalagi isinya pasti lebih keren, dan yang satu lagi buku yang berisi karangan puisi-puisi Ayahku, mungkin aku akan mencoba membaca buku yang berisi untaian puisi-puisi karangan Ayah dulu."
Dimaspun mencoba membaca buku puisi karangan Ayahnya.

Waktu telah berlalu, tepat pada jam 2 siang, Dimas yang masih asyik membaca buku puisi itu, karena kalimat-kalimat yang indah dari setiap bait-bait puisinya, membuat Dimas terlarut asyik membacanya hingga ia merasa kantuk dan tertidur diatas meja, padahal baru setengah dari buku itu yang dibacanya, tetapi kalimat serta makna didalam setiap bait buku itu membuat siapapun yang membacanya merasakan ketentraman didalam hati dan pikirannya, buku yang berisi bait-bait puisi yang menunjukan keindahan-keindahan Sang Maha Pencipta(Tuhan).

Matahari mulai turun untuk memberikan salam pamitnya, angin yang berhembus dengan sangat damai, cuaca disore hari yang indah, Dimas yang masih tertidur diatas meja, seketika itu bangun dan membuka matanya dengan kaget, karena tidak menyadari bahwa dirinya tidur dengan waktu yang lumayan lama.

"Hoaaam, aduh kenapa aku tertidur sih, jadi lupa juga tadi bacanya baru sampai mana,"ucap Dimas dengan nada sedikit kesal karena ketiduran.

"Tak terasa hari sudah mulai sore lagi, mungkin sekarang aku harus pergi ke sawah, siapa tau ada imajinasi hehee."

Dimas merasa terdorong dan termotivasi melihat dan membaca isi buku karangan Ayahnya, lalu iapun beranjak dari ruangan gudang itu dan pergi jalan-jalan kesawah untuk menikmati pemandangan yang indah disore hari, sambil membawa buku puisi itu, karena masih asyik membacanya dan mempelajarinya.

Melihat panorama yang indah disore hari dengan dihiasi sinar senja yang terlihat sedikit manja, serta barisan para petani yang mulai beranjak pergi untuk pulang, seraya ia berkata.

"Waaah luar biasa, sungguh indah sekali lukisanMu ya Rabb." Dimas lanjut berjalan kearah tengah pesawahan yang membentang luas nan indah, bertemu dengan seorang petani yang hendak untuk pulang.
"Eh, nak Dimas," ucap petani itu dengan tersenyum menyapa Dimas yang sedang asyik menikmati pemandangan alam yang indah disore hari.

"Iya Pak Jukiono, baru mau pulang ya Pak hehehe"
Jawab Dimas dengan wajah tersenyum memberikan sapaan kembali kepada Pak Jukiono.
"Nak Dimas gimana kabarnya, kemana saja baru kelihatan lagi?" tanya Pak Jukiono
"Alhamdulillah baik Pak, hehehe Dimas jarang keluar rumah akhir-akhir ini Pak, Pak Jukiono gimana kabarnya hehe"
"Alhamdulillah baik nak Dimas, oh nak Dimas jarang keluar rumah ya hehe, yaudah bapak pamit pulang dulu ya nak Dimas, mari..."
"Eh Pak, bisa ngga temenin Dimas dulu, jangan dulu pulang, sekalian ada yang mau ditanyain Pak sama Pak Jukiono hehe"
"Hmmm, yaudah atuh, disaung saja nak Dimas ngobrolnya, biar enak sambil duduk hehe"
"Iya Pak hehe"

Dimas dan Pak Jukiono pun beranjak melangkahkan kakinya kesaung milik Pak Jukiono, mereka berdua terduduk asyik mengobrol di tengah pesawahan yang luas nan indah.
Tepat jam 04.30 sore, mereka berdua masih asyik mengobrol.

"Mau ada yang ditanyain apa nak Dimas?"
"Dimas cuman mau nanyain hal tentang Ayah, pak Jukiono pasti tau kan?"
"Ooh begitu ya, hal tentang apa nak Dimas?"
"Pak Jukiono dulu kan kenal sama Ayah Dimas?"
"Iya kenal betul hehe, kenapa emangnya nak Dimas?"
"Begini Pak, Ayahku kan seseorang yang menggeluti dibidang sastra dan seni, Pak Jukiono tau enggak, dulu Ayah belajar darimana dan dari siapa..?"
"Oooh, begitu ya, yaaa setau Bapak sih, Ayah nak Dimas lebih sering belajar otodidak sendiri, beliau kalau sore atau pagi itu, suka jalan-jalan kepesawahan daerah sini dengan membawa sebuah buku dan pena, dan mungkin dari situ Ayah nak Dimas berimajinasi dan menuangkan semua imajinasinya kedalam tulisan, Ayah nak Dimas emang hebat, orang terpandang juga di Desa ini"
"Oooh begitu ya Pak, berarti Ayah tidak belajar dari seseorang atau temannya ya, hmmm..."
"Emangnya kenapa nak Dimas nanya seperti itu?"
"Yaaa, Dimas cuman pengen belajar juga biar bisa kaya Ayah, dan meneruskan berkarya seperti Ayah"
"Bagus itu nak Dimas, setau Bapak, ada juga seorang penyair dan seniman  yang sama kaya Ayah nak Dimas, dan beliau juga sangat kental akan keagamaannya seperti Ayah nak Dimas, tidak jauh berbeda"
"Siapa Pak,?" tanya Dimas dengan kaget dan ingin tau siapa dan berharap bisa menemuinya untuk belajar.
"Nama beliau Pak Ismail nak Dimas, beliau orang pesisir pantai pasir putih di ujung kulon sana, nama Desanya, Desa Katuncar, rumahnya dekat sekali dengan pesisir pantai"
"Oooh begitu ya Pak hehe, terimakasih Pak, mudah-mudahan Dimas bisa ketemu beliau dan belajar semua ilmu yang beliau fahami serta hebat dibidangnya," Dimas ternseyum dan merasa bahagia akan harapan yang sudah muncul kepermukaan angan-angannya, dan berharap bisa mewujudkan mimpinya itu, menjadi seorang penyair sekaligus seniman serta belajar untuk memahami  dalam ilmu ke Agamaan.

"Iya nak Dimas ,coba nak Dimas cari saja, alamatnya itu, disana juga beliau mempunyai pondok pesantren juga, yang terkenal hebat akan ilmu Tasawufnya serta apik didalam ilmu Piqihya, jadi nak Dimas bisa sekalian belajar Agama dengan baik disana"
"Alhamdulillah, Pak terimakasih banyak ya Pak, Dimas jadi enggak enak juga sudah mengganggu waktunya"
"Hehe, enggak apa-apa nak Dimas, mungkin sampai disini ya, nak Dimas cari saja alamat dan nama beliau ya, sudah hampir magrib, Pak jukiono mau pulang dulu ya nak Dimas"
"Iya Pak, kita pulang bareng saja pak kalau begitu hehe"

Dimas dan Pak Jukionopun beranjak melangkahkan kakinya untuk pulang kerumahnya masing-masing, Dimas yang merasakan akan hal dan harapan yang baru, tersenyum dan berimajinasi sepanjang jalan pulang, seraya ia berkata.
"Alhamdulillah ya Rabb, mudah-mudahan bisa bertemu dan belajar dengan Pak Ismail"

Matahari yang telah berpamitan kepada dunia, membuat langit yang cerah menjadi gelap dan mulai nampak terhiasi gemerlap bintang-bintang yang melayang bebas nan indah diangkasa.

                         **********

Kupu-KupuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang