23. Takut

42 8 0
                                    

Sebuah tempat yang mungkin menakjubkan untuk seorang Alettha. Ya bagaimana tidak, ia kini berada di sebuah kastil termegah yang berada tepat di titik 0° kota Madrid.

Senyum Alettha terus mengembang seiring dengan Dewangga yang mengajaknya menyusuri setiap sudut ruangan kerajaan itu.

"Kamu senang?" Tanya Dewangga mengalihkan perhatiannya pada Alettha.

Tak ada jawaban, Alettha hanya menaikkan sebelah alisnya seolah berkata 'IYA'. Tapi kini berbeda, Alettha yang akhir akhir ini selalu menjauhi Dewangga, yang memalingkan muka jika bertemu, kini menjadi sangat ramah. Dewanggaseakan bernostalgia dengan Alettha yang dulu. Alettha yang ia kenal sebelum perpisahan.

Senyum yang selalu dinantikan untuk hadir, kini telah ada, mengembalikan kembali Dewangga ke masa lampau. Masa dimana ia ingin kembali memeluk Alettha, masa dimana ia dengan bangganya memperkenalkan seorang Alettha pada teman temannya.

" So, what did you want to say?" Tanya Dewangga kembali.

"Nothing" jawab Alettha santai.

"Maksud kamu? Bukannya tadi kamu bilang mau ada sesuatu yang pengen dibicarain sama aku?" Ucap Dewa mulai mengingat ingat kejadian sebelumnya

"Nanti" putus Alettha agar tak ada lagi perdebatan antara dirinya dan Dewa.

Keduanya seperti kembali ke masa lalu, masa dimana antara Dewa dan Alettha bisa menikmati indahnya dunia. Bercanda, tawa, semua mereka lakukan bersama. Hingga tiba tiba pada suatu hari semuanya seakan hilang, dunia kelabu, begitu juga suasana hati Alettha.

Dirinya selalu bertanya pada hujan yang turun, dimanakah sosok Alfeandra Dewangga-nya? Bagaimana keadaannya? Tanda tanya itu semakin tergambar jelas seiring dengan waktu yang memisahkan kedua manusia saling cinta itu.

Berbulan bulan lamanya, Alettha berdiam diri, menanti fajarnya kembali dan menyinari hidupnya. Tapi sayang, fajar itu telah menjadi senja dan hilang. Malam malam panjang seakan tak pernah berhenti, hingga akhirnya Alettha bertemu bulan. Setidaknya fajar memang sudah tak akan hadir, tapi kini malam malamnya tak sendiri. Alettha ditemani bulannya. Ya mungkin memang tak seindah fajar, tapi hal itu sudah sangat membahagiakan bagi Alettha.

Seharian penuh Alettha menghabiskan waktu bersama dengan Dewangga. Dari mulai mengunjungi tempat tempat bersejarah, sampai tempat t3mpat terpencil di sudut kota.

Alettha sangat menikmatinya, hingga tiba tiba ponselnya berdering. Dengan cepat, ia merogoh saku celananya dan menggeser tombol hijau di layar handphone nya.

"Haiii Alethhaaaaa"

"Eh iya, haii juga ndra. Ya ampun lama banget kamu ngga pernah hubungin aku"

"Ya habisnya kamu sendiri juga gaada niatan hubungin aku dulu. Kan aku juga kalo mau hubungin kamu duluan ngga enak, siapa tau kamu sibuk. Haha.."

"Ih apaan sih. Eh iya gimana kabarnya di Indonesia?"

"Siapa? A Hanif? Kalo A Hanif mah baik baik aja jangan khawatir. Semuanya akan aman di tangan seorang Indra Mustaffa"

"Ih, ngga dong. Maksud aku kamu"

"Aku? aku kenapa? Kamu kangen sama aku? Haha, emang sih kamu kan ngga hisa hidup tanpa aku"

"Indra! Jangan becanda ah, galucu tau"

Alettha lalu berjalan meninggalkan Dewangga untuk duduk di bangku pinggir jalan sembari masih menelpon sang kekasih.

"Iya iya ih, jangan ngambek. Kamu tadi tanya kabar aku kan?"

"Hm"

"Ya bisa dibilang kabar aku ngga baik baik aja sih"

The Perfect BekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang