11. Sweet Nineteen

53 13 2
                                    

Pertemuan itu telah berlalu. Alettha memijakkan kakinya pada rumput rumput jepang di halaman depan. Dengan hembusan semilir angin senja, ia menggoreskan pulpennya pada sebuah buku. Membuat beberapa bait puisi untuk menyalurkan emosinya.

Tak ada yang lebih indah dari senja.
Menyejukkan, menghangatkan.
Tapi itu juga akhir dari keindahan.
Ketika malam datang, semua gelap.
Hanya penuh dengan cahaya lampu yang tak terlalu terang.

Goresan jingga itu tak terlihat lagi.
Kehangatan itu juga tak bisa dirasakan lagi.
Yang ada hanya dingin, sunyi, senyap, dan sendiri.

Tapi itu kemudian berlalu.
Mentari kembali menampakkan cahayanya di ufuk timur.
Membawa cahaya baru yang lebih indah, terang.

Tapi cahaya hangat itu juga lenyap kala awan awan hitam berganti memenuhi langit.
Harapan dan juga angan pun harus tertunda.
Menunggu cahaya jingga itu kembali menyinari bumi.

Dan kamu tau apa maksud ini?
Ya, memang sulit mengartikan kata kata rumit yang kurangkai.
Tapi aku yakin kamu mengerti.
Bahkan ketika aku sendiri belum menuliskan ini:)

Alettha mengembahkan senyumnya. Ia merasa lega sudah menumpahkan seluruh emosinya pada kertas kertas putih.

Memang sulit mengartikan isi puisi Alettha. Ia lebih suka mengibaratkan daripada mengartikannya langsung.

Saat Alettha berkemas, ia baru menyadari akan kehadiran sosok lain di tempat itu.

Pria itu berdiri tepat di belakang Alettha yang berarti orang itu lewat pintu belakang. Orang itu tersenyum ramah ke arah Alettha.

"Sejak kapan disitu?" Ucap Alettha menanyakan perihal keberadaan pria itu.

"Sejak kamu lebih memilih memandang indah senja" balas pria itu.

"Dan sejak kamu lebih memilih meneruskan hidup baru daripada mengulang yang dulu" timpal seseorang dari arah yang berlawanan.

Alettha kembali membalikkan badannya. Seketika ia melongo. Tak menyangka bahwa peristiwa ini akan terjadi dalam hidupnya.

"Happy Birthday Alettha" ucap orang orang itu serempak.

Mata Alettha berair, ia benar benar bahagia bisa sampai di titik ini. Ia merasa beruntung mempunyai mereka, Hanif, Bow, dan Indra yang sudah mau menemani Alettha disaat ia dalam keadaan terpuruk.

Hanya 3? Ya, memang hanya 3. Alettha memang gadis yang cuek dengan sekitar. Tak mempunyai banyak teman. Apalagi sekarang, ia sedang vakum dalam dunia pendidikan.

"Eh kok malah nangis sii" ucap Hanif mendekap erat sang adik.

"Iya nih, hari bahagia kok malah nangis" timpal Bow.

"Makasih buat kalian yang udah support aku selama ini. Aku seneng banget bisa dapet kalian. A Hanif, A Bow sama Indra" ujar Alettha terharu saking bahagianya.

"Yauda hayu ini di tiup dulu lilinnya" titah Indra yang sibuk membawa kue tart dan balon beraneka warna.

Alettha mengembangkan senyumnya lebar. Ia sangat senang karena telah dipertemukan oleh 3 lelaki hebat nan tangguh yang selalu bisa membuatnya bahagia setelah duka.

"Eh, make a wish duku dong" tahan Hanif saat Alettha hendak meniup lilin yang tertancap di kue tart.

Alettha mengangguk dan mulai memejamkan mata.

Tuhan, aku minta agar orang orang yang menyayangiku, mengasihiku, akan mendapatkan kebahagiaan yang mereka inginkan. Wish Alettha.

Ia lalu membuka mata dan meniupkannya perlahan. Suara riuh tepuk tangan pun terdengar.

The Perfect BekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang