Hari ini adalah hari keberangkatan Hanif ke Malang yang berarti adalah awal hari kesendirian Alettha.
Libur masih panjang, dan Alettha juga masih harus sendiri di rumah.
"Yaudah Aa berangkat dulu. Jangan nakal nakal. Kalo ada apa apa langsung hubungi Aa" ujar Hanif pada adiknya.
Tak berapa lama kemudian, taxi online yang dipesan Hanif pun datang dan membawa pergi Hanif Sjahbandi ke bandara untuk segera melakukan penerbangan ke Jawa Timur.
Setelah taxi yang Hanif tumpangi tak terlihat lagi, Alettha pun memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah. Sekedar menonton tv atau bersantai menikmati keheningan serta kesendirian di rumah yang bisa dibilang cukup besar.
Tak lama rasa bosan pun melanda. Alettha melangkahkan kakinya naik ke lantai 2 dan berniat untuk menonton film atau apapun itu dari laptopnya.
Ia mengambil laptopnya perlahan dalam tas. Sebuah kertas pun melayang dan jatuh tepat di kaki Alettha.
Apa ini? Batin Alettha sembari mengambil kertas itu dari bawah mejanya.
Tampaklah foto sesosok laki laki berbadan kekar. Berambut hitam yang disemir pirang. Bersandar di pagar sebuah rumah.
Selalu. Orang itu selalu membuatnya luluh. Ia seakan tak berdaya jika mengingat kembali kenangan kenangan bersamanya.
Dengan berat hati Alettha mengambil korek api dan membakar foto itu. Beberapa tetes air pun mengalir dari pelupuk mata Alettha. Ia seakan kembali pada masa itu.
Senyumnya, tawanya, bahagianya, sedihnya, semua terangkum menjadi satu dalam sebuah kenangan menyakitkan.
Dering ponsel pun membuyarkan pikiran Alettha. Ia menyeka air matanya dan mulai mengatur kembali ritme nafasnya sebelum mengangkat telepon.
"Ya, Halo?" Ucap Alettha setelah menggeser tombol hijau di layar ponselnya.
"Hay, Al" balas seseorang di ujung sambungan telepon.
"Iya A" jawab Alettha cepat.
"Al, ikut yu" ajak pria itu. Sejenak Alettha mengerenyitkan kening untuk berpikir.
"Kemana A?" Tanya Alettha.
"Ke mess atuh neng. Liat latihan. Ada yang nyariin" ucap laki laki itu cadel dengan membisikkan godaan di kalimat terakhirnya.
Alettha terkekeh geli dan kemudian mengangguk.
"Hayu A. Tapi ngga ada yang nganter" putus Alettha dengan nada kecewa di akhir.
"Nanti Aa jemput. Siap siap gih" titahnya menutup telepon.
Senyum Alettha merekah. Akhirnya ia keluar rumah dan kembali bisa menonton sepak bola. Ya meskipun hanya latihan, tapi setidaknya bisa mengobati rindu Alettha dengan sepak bola yang sudah lama vakum.
Dengan cekatan, Alettha memilih salah satu pakaian di antara barisan hoodie-nya yang beraneka warna.
Akhirnya ia memilih untuk memakai hoodie berwarna pink dengan celana jeans panjang putih, sepatu berwarna senada. Serta tas slempang yang juga berwarna pink.
-
Ditempat lain, Febri atau yang biasa dipanggil Bow pun melajukan mobilnya dengan kecepatan 60km/jam. Disampingnya sudah ada pria yang juga mengenakan baju yang sama dengan yang dikenakan Bow.
Indra tak sabar menanti pertemuan ketiganya dengan Alettha yang akan ia buat seindah mungkin.
Jantungnya berdegup kencang, tangannya mengepal keras. Senyum pun tak henti hentinya menempel di bibirnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Bek
Fiksyen Peminat____________________________________________ Lingkungan yang tak seharusnya membuat diri Alettha menjadi sosok gadis yang tegar. Kehilangan sosok ibu karena bahtera rumah tangga yang tak dapat dipertahankan lagi membuat dirinya kesepian. Ia kehilang...