Lagit senja yang indah, mengantarkan kembali pikiran Alettha pada seorang pria yang telah membuatnya jatuh cinta.
"Senja memang indah, tapi sayangnya cuma sementara" suara berat pria yang dikenalnya pun terdengar. Alettha menengok, dan benar saja itu adalah kakaknya.
Alettha melempar senyum tipisnya dan mengalihkan lagi pandangannya pada peristiwa sunset kota Bandung yang indah.
Mereka berdua terkunci dalam diam. Hingga perlahan mentari pun menghilang. Tak lagi menampakkan setitik cahayanya.
Alettha beranjak. Ia ingin masuk kembali ke dalam villa yang sedang disinggahinya bersama sang kakak.
Alettha mendudukkan pantatnya di sebuah kursi bambu yang terletak tak jauh dari area itu.
Satu persatu kenangan indah terputar. Peristiwa peristiwa penting kehidupan harus rela dilepaskan seiring dengan tenggelamnya mentari di langit sana.
Dadanya nyeri. Nafasnya mulai tak beraturan. Alettha kembali rapuh. Ia terlalu lemah untuk melepas segala suka yang sudah dibuat duka.
Apa yang pernah kau katakan memang benar adanya. Hidup itu seperti jam pasir. Jika suatu saat jam pasir itu habis, maka kau harus membalikkannya. Dan saat itu pula kamu akan kehilangan waktu dimana kebersamaan itu pernah ada. Kamu mungkin akan kembali, dengan raga yang sama. Tapi untuk hati? Mungkin tidak. Kau pasti akan menjadi dirimu yang baru. Bukan lagi dirimu yang dulu pernah menggenggam erat tanganku. Renung Alettha dalam isak pelannya.
Derap langkah kaki yang semakin kencang pun membuatnya tersadar dari lamunan. Laki laki jangkung itu langsung memeluk erat tubuh mungil Alettha. Tangisannya pun pecah. Ia tak sanggup lagi menahan beban yang ada di pundaknya.
Dekapan hangat yang menenangkan. Perlahan Alettha dapat mengatur kembali emosinya. Isak tangisnya mulai terhenti. Dekapannya pun menggendor. Pria itu menatap Alettha lekat. Mencoba memberi semangat batin pada sang adik yang ia tau dalam keadaan yang tak seharusnya.
"Semua itu cuman sementara. Ibarat langit. Saat siang, mentari hadir. Memberikan cahaya hangatnya pada seluruh alam semesta. Lalu perlahan mentari itu tenggelam. Hilang dan tak terlihat sama sekali. Pada saat itulah bulan dan bintang kemudian datang. Berganti menyinari langit yang gelap gulita. Cahayanya memang redup. Tapi setidaknya itu lebih indah dari mentari" tutur Hanif pada Alettha.
Alettha menutup kedua matanya. Menarik napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Ia mencoba melepas segala luka yang pernah ada.
Hari mulai gelap. Alettha dan sang kakak memutuskan untuk masuk ke dalam villa.
Hanif menghempaskan pantatnya ke sofa kecil yang terletak di depan tv. Sedangkan Alettha memilih duduk di kursi kayu yang menghadap langsung ke taman depan villa.
Ia sedang berpikir keras bagaimana caranya agar ia bisa melupakan masa masa indah bersama orang yang ia cintai.
Dalam jarak yang sedikit jauh, Hanif memfokuskan pikirannya pada Alettha, gadis cantik yang menjadi penyemangat di hidupnya.
Maaf de, Aa belum bisa jadi kakak yang terbaik buat kamu. Lirih Hanif pelan. Ia merasa masih belum bisa menepati janjinya pada almarhum papah untuk menjaga Alettha, membuatnya tersenyum setiap waktu.
Dengan langkah kaki yang pasti, Hanif mendekati Alettha yang masih termenung. Ia mendekap adiknya erat. Menyalurkan semangat hidupnya pada Alettha tersayang.
"Kamu ngga sendiri, disini ada Aa" ujar Hanif menenangkan adiknya. Satu tetes air mata pun jatuh ke tangan besar Hanif. Dengan sigap, Hanif berpindah posisi dan menyeka air mata Alettha.
![](https://img.wattpad.com/cover/229879673-288-k697552.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Bek
Fanfiction____________________________________________ Lingkungan yang tak seharusnya membuat diri Alettha menjadi sosok gadis yang tegar. Kehilangan sosok ibu karena bahtera rumah tangga yang tak dapat dipertahankan lagi membuat dirinya kesepian. Ia kehilang...