Derap langkah kaki Hanif membuat semua orang yang berada di ruangan itu menengok. Hanif dengan badannya yang tinggi datang dengan merangkul sang adik dalam dekapannya. Semua harus selesai hari ini, sehingga setelah pertemuan Hanif bisa melanjutkan langkah berikutnya untuk mengurus kepindahan Alettha dari Madrid. Dan semuanya akan segera damai seperti sedia kala.
"Duduklah" ucap pria paruh baya dengan senyumnya.
Tak ingin berkata kata, Hanif langsung menarik salah satu kursi dan memepersilahkan Alettha untuk duduk disana, disusul dengan Hanif yang duduk disampingnya.
Pria itu mulai menarik napas panjang, berusaha untuk berpikir jernih dan bijaksana dalam mengambil keputusan nantinya agar tak menyesal di kemudian hari. Ke empat anaknya menatap Ali tajam, seakan akan menyuruh dirinya untuk segera memberi keputusan.
"Alhanif, apa yang ingin kau sampikan pada kita semua disini?" ucap Ali membuka suara. Mencoba untuk menyelesaikan masalah ini dengan musyawarah dan kekeluargaan.
Hanif yang ditanya bukannya menjawab malah membuang muka ke arah lain, tersenyum sinis seolah lah perkataan Ali bukanlah hal yang pantas ia tanyakan saat ini.
"Dan setelah apa yang saya katakan kemarin anda masih menanyakan hal itu?" jawab Hanif pada akhirnya, menatap Ali dan Alexandria bergantian.
Kini giliran Alexandria yang buka suara, ia juga sudah sangat muak dengan muka Hanif serta Alettha yang semakin kesini semakin mempersulit hidupnya.
"Sudahlah ayah, kita tak perlu membuang buang waktu hanya untuk berbicara dengan pria keras kepala ini, sekarang hanya tinggal mengatakan bahwa ayah setuju atas kepindahan Alettha ke Indonesia dan menandatangi surat surat itu" celetuk Alexandria menunjuk berkas berkas kepindahan Alettha dari kampus yang notabene Ali adalah penanggung jawabnya.
Ali menatap putrinya tajam, bagaimana bisa Alexandria mengatakan hal itu dengan entengnya yang padahal ia juga tau bagaimana perjuangan Ali untuk bertemu dengan Alettha, gadis bungsunya yang sudah lama sekali tak jumpa.
"Benar apa yang diakatakan kaka Alexandria, ayah hanya tinggal menandatangani berkas berkas itu dan semuanya akan selesai. Tanpa adu mulut dan tanpa perkelahian" ucap Dewangga menyahuti apa yang dikatakan kakak perempuannya.
"Semudah itu, anda hanya tinggal tanda tangan dan semuanya selesai dengan damai" balas Hanif ikutan menyahuti apa yang dibilang Alexandria.
Ali memegang kepalanya, bingung dengan apa yang akan ia katakan didepan anak anaknya. Jujur sangat berat untuk melepas kembali Alettha dari jangkauannya. Ia masih sangat merindukan putri bungsunya itu.
Pandangannya kemudian teralih pada wanita cantik yang sedari tadi tak mengeluarkan suaranya, tangan yang selalu digenggam erat oleh putra sulungnya.
"Bagaimana pendapatmu nak?" tanya Ali dengan nada super lembut.
Alettha mendongakkan kepalanya, menatap sekeliling. Lalu berhenti pada rupa pria paruh baya yang menampilkan senyum kecilnya itu. Jujur ia tak tau harus mengatakan apa saat itu, karena memang sedari awal ia tak pernah tertarik dalam pembahasan ini. Lagipula ia juga takut jika nantinya perkataan yang keluar malah menyakiti perasaaan orang lain.
"Alettha..." panggil Ali lembut karena pertanyaannya tak kunjung dijawab.
Dengan berat hati akhirnya Alettha memberanikan diri untuk menatap netra kakaknya yang sedari tadi juga sudah memeprhatikan Alettha.
"Alettha akan ikut a Hanif ke Indonesia, dan Alettha harap ayah mau berbaik hati dengan menuruti apa kata Alettha untuk menandatangani berkas berkas kepindahan Alettha ke Indonesia. Alettha mungkin akan lebih tenang dan bahagia di Bandung bersama a Hanif" jawab Alettha terus terang. Ia hanya capek dengan semua masalah yang merundung dirinya. Alettha ingin kembali ke Indonesia, dan menjalani hari seperti biasanya.
Ali mengehela napas berat saat mendengar langsung perkataan Alettha yang juga ingin pergi menjauh dari Madrid. Rasany baru kemarin ia mempersilahkan Alettha untuk pindah ke apartemen miliknya, rasanya juga baru kemarin ia memeluk erat tubuh putrinya itu.
Lalu kenapa sekarang mereka semua seolah olah ingin menjauhkan hidupnya dengan Alettha? Begitupun dengan gadis itu yang juga berusaha untuki pergi menjauh dari dirinya. Atau lebih tepatnya menjauh dari semua masalah yang ada.
Ini semau pasti berat untuk Alettha. Belum juga selesai masalah yang lalu, sudah ditambah lagi dengan masalah baru. Kapan dunia ini memberikan kebahagaiannnya untuk Alettha? Ia sudah sangat lelah. Bahkan Alettha yang dulu selalu menangis saat ada masalah kini sudah tidak lagi. Bukan karena Alettha sekarang kuat, tapi akhirnya dia sadar bahwa menangis hanya akan membuang buang waktu dan tak akan menyelesaikan masalah. Lebih tepatnya ia tak lagi bisa menangisi hal hal yang sudah merusak hidupnya.
Realita memang terkadang sebercanda itu dengan kehidupan seseorang. Tapi ia juga tak boleh berputus asa, semua ada jalan keluarnya. Masalah ada untuk mendewasakan. Lalu jika tingkahnya masih seperti anak anak, maka akan sia sia begitu saja perjuangannya selama ini.
"Begitukah yang kaku inginkan nak?" tanya Ali memastikan apa yang baru dikatakan oleh putri bungsunya.
Alettha mengangguk yang akhirnya hanya dibalas senyum terpaksa oleh Ali. Sedangkan Alexandria tampak puas saat melihat ayahnya mulai menandatangani satu persatu berkas yang ada didepannya.
Dengan begitu maka hari harinya akan berjalan normal kembali. Hanya ada dirinya, Dewaangga, dan juga Ali. Tak kan ada lagi dua makhluk keras kepala menyebalkan ini di hadapannnya.
"Baikhlah, setelah ini ayah juga harus menghubungi anak buah ayah untuk menghentikan aksinya dalam mempersulit Alettha untuk keluar dari kampus" ucap Dewangga yang langsung disambut oleh tatapan tak percaya dari Ali.
"Jangan pura pura bodoh, kita sudah tau apa yang akan anda lakukan setelah ini. Kita sudah tau apa rencana yang anda bangun bersama anak anak buah anda itu" ucap Hanif seakan tau apa yang sedang ada di pikiran pria paruh baya itu.
Tak mengelak, Ali langsung mengambil ponselnya dari saku dan mulai mnbguhubungi seseorang.
"Kita batalkan semua rencana. Kembalikan seperti semula" ucap Ali berbicara pada seseorang lewat telepon.
"..."
"Saya akan tetap membayar kalian sesuai perjanjian. Selesaikan dulu pekerjaan kalian, batalkan semua yang usdah kita rencanakan"
"..."
Panggilan ditutup. Sedangkan Alettha dan Alexandria masih bertanya tanya dengan apa yang terjadi. Apa maksud semua ini? Anak buah? Rencana? Lalu apa hubungannya dengan kepergian Alettha dari kampus? Apakah yang dimaksud adalah rencana jahat untuk melukai? Tapi buat apa? Misterius sekali hidup ini.
Seakan mengerti apa yang dipikirkan dua adik perempuannya Hanif lalu membuka suara dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dari mulai Dewangga yang tiba tiba ingin bertemu dengannya di malam hari, tepat setelah ia menelpon Indra untuk mengantarkan makanan untuk Alettha.
"Dewa mengatakan bahwa anda sudah menyuruh anak buah anda untuk menyuap beberapa petugas kampus serta administrasi untuk tidak melayani kepindahan mahasiswa atas nama Sylvia Alettha. Tapi hal itu sama sekali tak menyurutkan niat saya untuk membawa Alettha pulang ke rumah. Rumah yang sebenarnya, rumah yang damai, dan dengan lingkungan yang bisa menghargai keberadaan Alettha. Lingkungan yang akan selalu memberikan kebahagiaan bagi ALethha, bukan rumah yang menjadi sumber tangis untuk Alettha" jelas Hanif menceritakan apa yang terjadi malam itu.
Alettha mengangguk angguk mengerti. Semuannya semakin jelas sekarang.
🍁🍁🍁🍁🍁
Kita up setiap 2-3 hari sekali
Makasih udah nyempetin waktu buat mampirツ.
Baca terus kelanjutan kisahnya.Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote★, komen💬, dan share♻️
Banyak typo maapkeun!
Kritik dan saran sangat membantu ya🙏🏻🙏🏻
Whatsapp || 0831-6233-2525
Instagram || ctrfebrian_
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Bek
Fanfiction____________________________________________ Lingkungan yang tak seharusnya membuat diri Alettha menjadi sosok gadis yang tegar. Kehilangan sosok ibu karena bahtera rumah tangga yang tak dapat dipertahankan lagi membuat dirinya kesepian. Ia kehilang...