7. Kabar Buruk

76 15 5
                                    

Hari demi hari terlewati, tapi Alettha tak kunjung sadar. Kata dokter kondisinya semakin kritis, tak ada usaha apapun yang dapat dilakukan untuk membantu Alettha. Saraf di otaknya yang sangat rawan membuat para dokter takut untuk mengambil resiko.

Semenjak Alettha tak sadarkan diri di rumah sakit, pikiran Indra tak beralih pada siapapun. Bahkan untuk makan saja rasanya tak nafsu. Untung, pertandingan pertandingan masih di liburkan hingga 2 minggu ke depan.

Tak ada hal apapun yang dapat mengalihkan rasa cemasnya pada gadis cantik bernama Sylvia Alettha yang sedang berjuang melawan penyakit di otaknya.

Bow juga sama halnya dengan Indra. Pikirannya tak teralih pada gadis cantik yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Ia merasa kedekatannya dengan Alettha itu benar benar ada, dan jika dulu dia bisa memilih ia akan meminta tuhan untuk menjadikan Alettha sebagai adiknya.

-

Seorang suster yang baru saja keluar dari ruang rawat Alettha langsung menghampiri dua pria yang terduduk lemas di kursi lorong rumah sakit.

"Maaf, anda keluarga pasien atas nama Sylvia Alettha?" Ucap suster itu. Sontak Bow dan Indra pun berdiri dan menatap suster itu dengan tatapan berharap.

"Iya sus, gimana kondisi adik saya? Sudah ada perubahan?" Cecar Bow segera ingin tau.

"Denyut jantung pasien semakin lemah. Kami tidak bisa berbuat banyak. Diagnosa terakhir dokter menyatakan bahwa hanya sedikit kemungkinan bahwa pasien akan terus melanjutkan hidup" jelas suster.

Jantung Bow mendadak berhenti berdetak. Oksigen disekitarnya tersirap seketika oleh kata kata suster yang menyatakan bahwa kemungkinan besar Alettha tak akan sembuh.

Sedangkan Indra lemas. Ia kembali duduk di kursi tempat semua ia berada. Pikirannya kacau. Harapannya hilang, terbang terbawa hembusan angin yang dikirim oleh kabar buruk tentang Alettha.

"Aaaaa" teriak Bow sambil memukulkan tangannya pada dinding tempat semula ia bersandar.

Bow menangis. Entah kenapa, semenjak bertemu Alettha ia berubah menjadi laki laki lemah yang tak pernah bisa melihat Alettha terpuruk. Mungkin rasa takut kehilangannya terhadap Alettha lebih besar dibanding rasa takut kehilangan Hanif pada Alettha.

-

Seseorang dari ujung lorong rumah sakit kemudian mendekati Indra dan Bow yang masih lemas.

"Bow, Alettha gimana?" Tanya laki laki itu sambil masih menggantungkan ransel besar di pundaknya serta menggeret koper yang berisi baju baju serta perlengkapan lain yang ia bawa selama berada di Malang.

Bow hanya diam. Dia masih shok dengan pernyataan suster tentang Alettha.

"Bow! Gimana? Jawab gue! Ndra! Alettha gimana?" Tanya Hanif mendesak dua laki laki yang sudah menemani Alettha sejak beberapa hari lalu.

Melihat perilaku Bow dan Indra yang aneh. Hanif pun memutuskan untuk langsung masuk ke ruang rawat Alettha. Menanggalkan ransel besarnya di depan pintu ruangan.

Aroma khas rumah sakit pun menyapa indra penciuman Hanif. Berbagai alat medis menempel pada tubuh gadis kecil kesayangannya. Tubuh Alettha terbaring lemas di ranjang. Entah kenapa tiba tiba badannya lemas. Kekuatan yang ia punya seakan terserap oleh hawa dingin ruangan.

Hanif mendudukkan dirinya di sebuah kursi plastik di samping bed tidur Alettha. Mengambil tangan kanan Alettha dan menggenggamnya erat.

Lagi lagi Hanif menangis. Hanif rapuh melihat adik kesayangannya ini harus dirawat di rumah sakit.

Ia tak tau harus berbuat apa untuk menyembuhkan adiknya yang ia tebak sedang berjuang melawan penyakit yang cukup parah.

"Al, maafin Aa ga bisa jaga kamu" rintih Hanif di sela isak tangisnya.

The Perfect BekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang