"Mas! Bangun! Mas!" Aku mulai mengernyit merasa tenggorokanku sebentar lagi tersentuh cairan lambung. Sementara pria yang tidur seperti kerbau itu tak juga membuka mata.
"Mas Akbar!" Aku sadar, iya-iya! Suaraku memang keterlaluan untuk ukuran membangunkan suami.
Mas Akbar menggumam tak jelas lalu mengubah posisi tidurnya agar lebih nyaman. Aku tak tahan, segera berlari menuju wastafel. Kumuntahkan semua cairan yang terasa asin, banyak sekali. Aku sampai menangis.
Sejak kecil aku tak tahan muntah. Apalagi kalau diajak naik mobil, sedikitpun menghirup bau mobil dengan aroma minyak-minyak aroma terapi, aku akan muntah. Seperti sekarang, meski tidak sebanyak biasanya, tapi lambungku benar-benar kosong sekarang. Aku terduduk di lantai kamar mandi sambil memegangi kepalaku. Aku terisak pelan. Aku tidak suka sekali muntah.
Isakanku makin kencang, coba saja Mas Akbar mau bangun sebentar mengusap punggungku agar cairan tidak naik ke kerongkongan. Mungkin tak akan seperti ini.
Lihat saja pria dengan muka bantalnya itu kini sedang menatapku aneh. Aku menghapus air mataku kasar lalu melewatinya menuju ranjang.
"Kamu muntah?" Mas Akbar mendekatiku. Aku menarik selimut sampai ke leher lalu mencari posisi tidur yang nyaman.
"Kenapa? Bau ya?"
Dia tidak menjawab, lantas kembali ke sisi tempat tidurnya. Tak kusangka tangannya merayap ke tengkukku, memijitku di sana. Sontak aku menepisnya, menoleh padanya dengan kemarahan di ubun-ubun.
"Ngapain sentuh-sentuh!" Kataku galak.
"Biar reda muntahnya, ck. Tiduran lagi sana!" Dia berdecak dan memaksaku membelakanginya. Sekali lagi aku menepis tangannya.
"Pijatnya tuh pas lagi muntah, bukan pas udah mau tidur!" Kataku tak mau kalah. Dia berdecak sebelum menghentikan aksinya. Kini tangannya beralih ke pinggangku. Memelukku. Aku baru saja hendak protes tapi pria tua itu malah mendorong tubuhku menghadap lemari.
"Tidur,"
Pagi harinya aku bangun sambil merintih karena pening. Mas Akbar sudah mandi sedang aku mulai telaten menyiapkan sarapan.
"Kemejaku yang biru kayaknya ketinggal di sini deh. Kamu lihat?" Mas Akbar membuka mesin cuci, hendak mencari baju itu di sana.
"Kayaknya masih basah, belum aku kucek," Aku mengambil kemeja yang dia cari, aku meletakkannya di tempat pencucian, tak jauh dari dapur. Aku tidak tahu menggunakan mesin, makanya semua cucian aku kucek.
"Terus aku pakai baju apa?" Mas Akbar kelihatan gelisah.
"Emang bajunya Mas, cuman itu doang?"
"Tapi aku maunya pakai yang biru itu," Mas Akbar mengambil kopi dan menyeduhnya cepat. Dia meringis merasakan panasnya. "Lagian kenapa ga kamu cuci, sih?"
"Aku ga tahu kamu mau pake,"
"Selembar gitu doang, ck!"
"Yaudah sih, Mas. Kalau kucuci sekarang apa bisa kering? Pakai baju yang lain aja lah."
"Kan ada pengering,"
Aku berdecak sambil berlalu menuju tumpukan cucian. Aku mengambil kemeja biru itu, karena tidak mau Mas Akbar kepalang telat, akhirnya ku kucek dengan cepat. Semoga saja bersih.
Setelah kugilas, aku memanggil Mas Akbar. "Apa?"
"Nyalain mesinnya," kataku menunjuk mesin.
"Gini doang mesti aku juga?"
"Kalau aku bisa ga mungkin aku suruh kamu Mas," kataku sebal. Dia kembali ke meja untuk menyelesaikan sarapannya, sementara aku berdiri di dekat mesin sambil menunggu kering. Aku sudah beberapa kali melihat ibu mertuaku mengajariku, tapi aslinya sebenarnya aku takut dekat-dekat mesin ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND WIFE (End)
Romance⚠️ BACA SELAGI LENGKAP 🚫 NO PLAGIAT-PLAGIAT CLUB ⚠️ REVISI TELAH SELESAI Awalnya semua baik-baik saja. Mia dan Adiknya menjalani kehidupan seperti biasa, menjajalkan kue buatan Ibunya di jalan besar bersama anak-anak dari kampungnya. Lalu kebakar...