Akbar sudah berkali-kali dihadapkan dengan kegagalan. Di masa-masa sulitnya membangun usaha sendiri, Akbar harus ikhlas bila mana dua atau tiga sekaligus usahanya gagal.
Dia menjalani semua dengan baik dengan segala bentuk penerimaan.
Akbar tidak pernah sampai merokok, dia sudah lama meninggalkan kebiasaan buruk itu. Dan hari ini, rasa-sanya ia tidak bisa menolak untuk melakukannya lagi.
Akbar duduk di kusen jendela kamar yang kini kosong melompong.
Sahanas tidak ada di rumah. Wanita itu benar-benar meninggalkannya tanpa jejak. Akbar ingin sekali mengacak-acak seisi rumah karena kebodohannya sendiri.
Sudah nyaris seminggu ia mengurung diri di rumah lamanya.
Ponselnya sampai terbongkar dengan serpihan berserakan di lantai tak berbentuk lagi. Asap rokok mengepul di antara udara malam, dan siapa yang peduli?
Tidak ada. Akbar sengaja menjauh dari siapapun. Tanpa dicari pun dia sadar Shanas sudah pergi jauh. Akbar tahu wanita itu selalu tahu yang terbaik untuk dirinya sendiri, termasuk melakukan kesalahan yang dianggap bisa membebaskannya dari ketidak pastian hubungan pernikahan ini.
Akbar pantas disalahkan. Dia sadar, tidak ada waktu lagi untuk mengejar atau mencari Shanas. Wanita itu ternyata sudah mantap dengan pilihannya sendiri. Dan tentu saja itu bukan Akbar.
Sama sekali bukan.
Pembelaan yang dia lakukan selama ini hanya buah dari kesia-siaan, karena pada akhirnya sekuat apa pun dia menahan wanita itu, kalau memang wanita itu sendiri yang memutuskan untuk pergi, Akbar bisa apa memang?
Terlebih lagi, siang tadi Papanya menemukannya tak terurus dengan selembar amplop coklat yang tentu saja berisi surat gugatan cerai dari Shanas.
Secepat itu wanita itu bergerak, Akbar sampai ketinggalan jauh.
"Sadar kamu, Bar. Yang sudah berlalu biar berlalu. Kamu bukan bajingan yang tidak tahu harus bagaimana. Pekerjaanmu terbengkalai, keluargamu apa lagi. Kamu tidak harus fokus pada yang mati, ada banyak yang rusak yang masih bisa diperbaiki." Nasihat sang Papa. Tentu saja pria paruh baya itu tidak datang dengan tangan kosong, melainkan membawa tumpukan desain furniture yang masih harus diselesaikan dalam waktu dekat.
Akbar mengangguk paham, meski dia tidak bergerak banyak selain menghabiskan batang demi batang rokok yang sama sekali tidak menguntungkan, justru mengurungnya dalam kesesatan yang nyata.
Akbar butuh waktu untuk mencerna semua ini. Dia merasa tidak puas. Dia tidak siap.
Tapi banyak hal yang menunggunya untuk siap. Lelaki itu seperti baru saja ditimpa kebakaran, dia butuh banyak waktu untuk memilah-milah mana yang hangus, yang rusak, dan yang masih harus diselamatkan.
Akbar berdecak, membunuh puntung rokok terakhirnya, lalu membuka bungkusan baru untuk dibakar, kemudian dihisap lagi dan lagi sampai Akbar terbangun di suatu pagi yang mengharuskannya benar-benar bangun dalam artian yang sebenarnya.
Akbar mandi, mencukur janggutnya yang tak terurus dan sedikit merapikan rambutnya. Setelah memastikan kemejanya tampak rapi walau terpaksa memakai pakaian yang tersisa di rumah Shanas, Akbar bersiap menyemir sepatunya sendiri.
Sambil memanaskan mobil, pria itu menghabiskan kopi buatannya sendiri. Sedikit buruk karena dia tidak tahu di mana letak gula, Akbar tak suka kopi yang pahit.
Jarum jam nyaris menyentuh pukul sepuluh pagi ketika dia mengendarai mobilnya meninggalkan pekarangan rumah.
Hari ini dia siap menghadapi segala putusan hukum.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND WIFE (End)
Romance⚠️ BACA SELAGI LENGKAP 🚫 NO PLAGIAT-PLAGIAT CLUB ⚠️ REVISI TELAH SELESAI Awalnya semua baik-baik saja. Mia dan Adiknya menjalani kehidupan seperti biasa, menjajalkan kue buatan Ibunya di jalan besar bersama anak-anak dari kampungnya. Lalu kebakar...