10| Melahirkan

22.1K 1.8K 37
                                    

Aku keringat dingin, Bu Ayu mengajakku berjalan mengelilingi ruangan tanpa beralas kaki. Mataku sudah memerah pengaruh menangis sejak semalam.

Sementara dokter menyarankan aku untuk berjalan supaya pembukaannya lebih cepat. Tapi rasa sakit benar-benar mengombak dalam perutku. Urat-uratku seperti putus, pinggangku pegal bukan main.

Suara pintu terdorong kasar disertai namaku membuatku dan Bu Ayu menoleh ke arah yang sama.

Mas Akbar kelihatan berantakan saat memelukku yang kini terpaku di tempat. "Maaf, Mas harusnya ga ninggalin kamu,"

Aku yang dasarnya cengeng ya menangis saja. Suamiku menuntunku duduk di kasur. Aku mengeluh sakit pinggang dan langsung mendapat pijatan di sana.

"Kamu kenapa ga bilang kalau perut kamu sakit? Tahu begitu Mas ga pergi,"

"Jadi aku yang salah?" Aku berkata sewot.

"Bukan begitu Mia. Seenggaknya aku ada saat kamu mau lahiran."

Aku tak menghiraukan perkataan suamiku dan memilih meremas tangannya kuat. Tanganku memutih, keringat dingin menyelimutiku sejak tadi.

"Sakit..." lirihku.

"Kenapa, Mia?" Mama menghampiri kami setelah kudengar dia berterima kasih Pada Bu Ayu yang sudah mengantarku ke rumah sakit.

"Mia ga tahan, Ma..."

Mas Akbar tidak tahan melihatku begitu, dia akhirnya memanggil dokter.

Setelah diperiksa, ternyata posisi bayiku sudah bagus. Mereka juga mulai mempersiapkan alat medis untuk lahiran.

Aku meremas kaos suamiku. "Arhggg...Mas, aku pegal!"

"Sandar sini, ya," Mas Akbar menempatkan dirinya di belakangku, aku bersandar di dadanya dengan tangan yang meremas lengannya.

Dokter mulai memasang sarung tangannya, lalu memerintahkanku untuk mengejan.

Sekitar tiga jam aku kehabisan tenaga, tapi semua itu terbayar kala suara tangisan bayi menggema di seluruh ruangan persalinanku, telingaku terasa pecah, badanku langsung luruh ke pelukan suamiku.

Bahkan untuk membuka mata saja rasanya sulit sekali.

***

Dulu, setiap kali Ibu memasak jantung pisang untukku dan Tri, aku tidak pernah menolak. Bahkan bisa dibilang aku sangat suka dengan makanan yang satu itu. Ya mau bagaimana lagi, dulu hanya ada sayur itu saja. Itu pun makannya jarang, kadang setahun dua kali. Kalau Bapak tidak jual semua.

Sekarang, saat Mama menyuapiku makanan yang sama, lidahku terasa pahit. Aku menggeleng kuat. "Air aja, Ma. Mia muntah nanti,"

Mama berdecak, "ga boleh Mia, ini wajib dimakan. Biar air susumu lancar."

Aku mau menangis rasanya, apalagi saat Mas Akbar tidak menggubrisku dan malah asik menggendong bayi kami. Sedari tadi dia tidak lepas dari putranya, bahkan Papa mertuaku saja sampai dilarang menggendongnya.

Agnes yang tadi heboh melihat keponakannya, langsung diberi sinisan dan wejangan supaya dia tidak ribut.

Pokoknya, semua kena imbasnya kalau sampai ada yang mengganggu putranya. Cih, belum juga besar anaknya.

"Sedikit saja, ayo!" Mama sudah mulai kasar memintaku makan. Aku masih menggeleng tidak mau. Tapi mertuaku itu menahan mulut pedasnya.

"Kamu ya, manja banget kalau sakit." Keluhnya nyaring, membuat Papa dan Suamiku menatap kami berdua.

Aku cemberut, lantas berbaring. "Kan pahit lidahnya, Ma."

"Dipaksa Mia. Mama juga dulu begitu kok. Bahkan sampai muntah-muntah karena ga biasa makan sayur."

SECOND WIFE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang