08| Susu Hamil

25.5K 1.9K 39
                                    

"Kita butuh bicara," kata Mas Akbar sebelum berlalu ke kamar yang kutahu adalah miliknya. Aku meneguk ludah banyak-banyak. Sepanjang perjalanan, dia tidak mengatakan apa pun. Berbanding terbalik denganku yang menggigit bibir menahan isakan.

Iya, aku salah bicara, aku tahu. Aku takut dengan sisi Mas Akbar yang pendiam. Makanya aku langsung mencari Mama.

"Lho, kamu kenapa menangis?" Aku menggeleng di pelukan beliau. Papa mertuaku tidak di rumah, jadi aku bisa masuk kamar Mama sebebas ini.

Mama mengelus punggungku, membuatku sedikit tenang. "Kamu bertengkar?"

Aku kembali menangis. Belum aku menjawab, pintu kamar Mama sudah dibuka, Mas Akbar langsung menghampiri kami dengan rahang mengeras.

Aku beringsut, menenggelamkan wajahku ke pelukan Mama Mertuaku. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana, aku takut.

"Ke kamar, Mia," desis suamiku. Aku menggeleng kuat, menarik perhatian Mama.

"Kenapa sih, Mas?" Mama akhirnya kepo juga.

Terdengar helaan napas kasar dari Suamiku. Dia tidak langsung menjawab, malah mendekatiku. Dia naik ke sisi ranjang yang lain sebelum menarik pergelangan tanganku dengan lembut.

"Kita ke kamar dulu,"

Aku masih menolak, tapi Mama langsung mendorong wajahku pelan, mau melihatku. Aku tidak tahu seberapa berantakan aku sekarang. Mama menatap kami berdua dengan tatapan Marah.

"Kalian kenapa, sih? Akbar? Mia?"

Aku menelan ludah, Mas Akbar menarikku ke pelukannya. Aku tidak menahan tangisku lagi. Ya Tuhan, Mia!

Mas Akbar mengusap wajahku. Bibirku bergetar, "aku--"

"Berhenti, aku ga mau dengar kata itu lagi, Mia!" Sentaknya memotongku.

Aku semakin sesegukan di dadanya. Mama juga sudah gusar. "Tapi, kamu mau ceraiin aku, kan?"

"Mia!" Bukan hanya Mas Akbar, tapi Mama juga ikut memarahiku. Aku beringsut takut. Wajahku basah bukan main.

"Kenapa? Waktu itu Mas sendiri yang bilang begitu!"

"Aku ga pernah bilang begitu, Mia!"

"Terus pas di rumah Mbak Shanas itu apa?" Aku kembali mengingat kejadian lalu. Semua rasa sakit tiba-tiba menguap di dadaku.

"Apa benar itu, Akbar?" Wajah Mama berubah pias, Mas Akbar malah menatapku tajam.

"Mbak Shanas nyuruh Mas ceraiin Mia, terus Mas bilang iya, apalagi kalau bukan begitu artinya, Mas?"

"Mia tahu Mas nikahin Mia karena kemauan Mama Papa. Tapi, Mia ga pernah berpikir kalau sampai sekarang, Mas niat ke situ. Mia--Mia bukan tempat penampungan sperma Mas aja, Mia juga mau disayang Mas seperti Mbak Shanas,"

Keluar sudah. Aku sudah tidak tahan. Nafasku nyaris habis. Tanganku dingin bukan main. Mungkin kalau dalam kondisi normal aku akan merutuki diriku yang--argh kamu alay banget Mia nangis-nangis gitu!

"Aku ga nikahin kamu karena Mama Papa, aku juga ga pernah menjadikan kamu seperti--yang kamu bilang itu."

"Tapi Mas memperlakukan aku--

Aku sudah tidak sanggup melanjutkan, nafasku seperti hilang, tangisanku terlalu dalam, hingga aku merasa kepalaku berat ditimpa sesuatu. Suara panik Mama dan Mas Akbar hanya sayup kudengar, karena setelahnya, yang kuingat hanya gelap.

Aku terbangun ketika mencium aroma terapi. Fokus mataku tidak tentu, dan rasa mual tiba-tiba menderaku..

Sudah kubilang, kan? Aroma terapi kerap kali membuatku muntah.

SECOND WIFE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang