09| Ditinggal

21.9K 1.7K 13
                                    

Aku memasukkan beberapa piring anggur ke troli, sementara Mas Akbar sibuk memilih daging sapi. "Kenapa banyak gitu dagingnya?" Tanyaku. Dia hanya diam saja sebelum mendorong troli menjauh.

"Mau belanja apa lagi?"

"Mie?" Tanyaku ragu. Sudah hampir lima bulan rasanya aku tidak makan Mie.

"Gaboleh,"

"Dih, biasanya juga kamu makan," aku meraih beberapa botol sambal. Untuk yang satu itu, jangan ditanya. Aku tidak bisa makan tanpa rasa pedas. Sejak kecil.

"Jangan kebanyakan, dua aja,"

Aku mencibir. Kami berjalan lagi mencari susu hamil. Mas Akbar sudah janji mau membeli susu hamil seperti yang disarankan dokter kandunganku.

Tapi aku jadi tidak bersemangat, pasalnya Mama menakut-nakutiku. Katanya, kebanyakan orang hamil tidak suka rasa susu ibu hamil.

Berarti aku juga!

"Mas, ada yang rasa sambel ga, sih?" Ceplosku ketika dia sedang sibuk memilih Susu. SPG yang mendengar perkataanku lantas tertawa.

"Kalaupun ada, ga akan aku beli."

"Dih, pelit!"

Mas Akbar bergeming. Dia meminta diambilkan dua dus susu dengan berat yang maksimal.

"Mas, kamu serius aku bisa habisin semua itu?"

"Kamu kenapa?"

"Rugi ih. Kalau ga habis gimana?"

Mas Akbar mendorong troli ke arah makanan ringan. "Kan uang aku,"

Aku berdecak, biasa aja kali!

"Cerewet ya kamu sekarang,"

Dia diam. Nah, kan. Kalau ditegur malah diam. Jadi gemes!!

Akhirnya aku berhenti menggodanya. Sudahlah, kalau dia mendiamkanku bagaimana?

Setelah merasa cukup, aku menunggunya di kursi dekat toko undangan. Aku jadi teringat pernikahanku yang dulu sangat seadanya.

Orang-orang yang hadir juga hanya keluarga Mas Akbar dan Mbak Shanas.

Saking sederhananya, kami tidak menyebar undangan sama sekali.

"Ayo," Mas Akbar memegang tanganku ketika di tangga. Was-was kalau saja aku ceroboh.

"Aku lihat ranjang bentuk mobil di instagram, tokonya sekitar sini,"

"Lalu?" Tanyaku.

"Kita beli sekarang aja,"

"Jangan bilang itu untuk anak kita?" Aku sudah mewanti-wanti. Ah, kenapa sih laki-laki selalu berpikir terlalu jauh. Padahal kalau anak ini lahir juga tidak akan kubiarkan tidur di kasur besar, setidaknya di keranjang bayi.

"Kamu lihat dulu,"

"Jangan aneh deh Mas!"

Mas Akbar tidak menghiraukanku. Dia membawaku di Baby shop. Dia memaksaku masuk dan menunjukkanku beberapa profil kasur yang seharusnya dipakai untuk anak umur 3 tahun ke atas.

"Kita beli yang ini," dia menunjuk kasur berbentuk mobil warna hitam putih. Tidak, aku tidak kaget karena bentuknya aneh. Tapi harganya Ya Tuhan, kasur harga sebelas juta itu untuk apa?

Aku ingin sekali mencakar suamiku kala dia bertanya-tanya pada pramuniaga yang sedang berjaga.

Karena sudah kesal, saat selesai transaksi aku langsung berjalan meninggalkan Mas Akbar.

"Kamu ga belanja?"

"Kamu udah gila ya Mas, beli ranjang besar begitu buat apa? Anak kita masih bayi kalau lahir, paling tidurnya juga di tempat yang sekecil sangkar burung, Mas!" Omelku setelah kami sampai di mobil.

"Kalau aku simpan-simpan, keburu habis, kamu ga dengar kata penjualnya tadi kalau ranjangnya edisi terbatas?"

"Mas mau aja dibodohin penjual. Itu kan akal-akalannya aja biar barangnya laku!"

"Kenapa kamu marah sih?" Mas Akbar menoleh padaku heran.

"Ya siapa yang ga marah coba, uang sebanyak itu Mas hambur-hamburin hanya untuk ranjang begitu?"

"Aku kan pake uangku, Mia,"

Aku sudah kesal sekarang. "Kamu ga pernah dengar ya, Mas, istilah kalau uang suami itu uang istri juga?"

"Tapi Shanas ga pernah marah aku belanja mahal atau murah, baru kamu yang begini,"

Aku menyentak seatbelt yang menggerogotiku nyaris mencekik. Jelas itu tak luput dari perhatian Mas Akbar.

"Pasang lagi, kenapa kamu buka, sih?"

"Mas kenapa banding-bandingin aku? Jelas aku beda. Aku lahir dari keluarga ga mampu. Jangankan sebelas juta Mas, seribu rupiah saja susah nyarinya."

"Aku ga mungkin batalin transaksinya, Mia,"

"Terserah!"

***

Aku tidak punya pilihan banyak ketika Mas Akbar tiba-tiba bilang mau ke Surabaya. Banyak rasa takut menyerangku, terutama kalau tiba-tiba aku melahirkan saat dia di luar kota.

Akhir-akhir ini pinggangku sering sakit, kakiku juga bengkak. Sangat sulit berjalan apalagi sampai ke dapur. Sekarang saja perutku sudah mulas, seperti biasa. Sebenarnya aku agak khawatir karena rasanya aneh.

Tapi kalau kupaksakan Mas Akbar tinggal, rasanya tidak bisa. Aku memang tidak tahu ada masalah apa di Surabaya, sampai dia harus membawa Mama Papa juga di sana. Yang kutahu itu mendadak sekali.

"Kamu ada mau pake jas?" Aku sedang mengemas pakaian Suamiku ke dalam koper. Mas Akbar baru saja selesai mandi ketika menghampiriku. Dia menghadap lemari lalu mengeluarkan baju yang dia butuh. Sejak menerima telpon dari Mama, Mas Akbar tidak banyak bicara. Matanya jadi merah menahan amarah.

Aku jadi takut bertanya apa pun.

Kami saling diam sampai aku mengantarnya di depan pintu. Sejak usia kandunganku menginjak delapan bulan, Mas Akbar jadi menetap di rumah. Dia membantuku banyak hal terutama ketika dia tahu aku sudah susah naik turun tangga.

Dan malam ini, aku harus tidur sendiri. Aku ingin menangis tapi kutahan.

Mas Akbar sepertinya membaca gelagatku. Dia menunduk mencium perutku lalu pipiku. "Besok malam aku balik," itu terdengar seperti sebuah janji.

"Boleh peluk?" Tanyaku dengan bibir bergetar. Tidak menunggu lama untuk masuk ke pelukan suamiku. Air mataku tumpah lagi. Rasanya berat sekali, aku sudah terbiasa dengan keberadaannya selama ini. Kalau ditinggal begini, aku jadi takut tidak bisa tidur.

Bagaimana kalau rumah tiba-tiba kebakaran dan tidak ada yang menolongku?

Atau bagaimana kalau ada pencuri?

"Mia," suara Mas Akbar lantas membangunkanku dari imajinasi buruk.

Aku mengurai pelukanku lantas menghapus sisa tangisanku. "Jangan lama-lama!" Jelas suaraku parau sekali.

Suamiku mengangguk lalu mengecupku sekali lagi. "Tutup pintunya, aku akan pergi setelah pintunya kamu tutup,"

Aku mengangguk. Mungkin ini caranya supaya aku tidak berat melihatnya pergi.

Setelah kukunci pintu, aku pun kembali ke kamar dengan susah payah. Suara mobil Mas Akbar terdengar menjauh. Sambil meringis, aku merebahkan diri. Berusaha berpikir positif, mungkin aku terlalu tegang dari tadi.

Hanya sampai besok....

Aku mengelus perutku yang semakin mulas saja. Biasanya kalau begini, Mas Akbar akan memijat pinggulku, atau mengelus bahuku, setidaknya di saat aku kesulitan begini ada orang yang bisa menolongku.

Aku semakin gelisah, berusaha untuk menutup mata, tapi rasa sakitnya kembali menyerang, dan kali ini berbeda. Ada rasa asing di perutku, mulas luar biasa diikuti gelombang sakit yang semakin menyiksa. Kandunganku seperti bergerak turun.

Aku panik, tapi hanya bisa menggigit jari. Semoga tidak apa-apa.

***

Made with love,

Searth

SECOND WIFE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang