"Darah, sus!" Aduku seraya mengibaskan tangan. Jarum infus baru saja dibereskan dari tanganku, sementara aku harus membiarkan darah mengalir bebas dari bekas tusukan jarum itu karena terlalu banyak gerak.
"Jangan diangkat begitu, Mbak." Tegur wanita tua dengan daster selutut yang kelihatan besar di tubuhnya. Namanya Suster Rita, tetangga Mama yang kebetulan bekerja di rumah sakit. Kedatangannya membantuku tidak perlu memanggil pihak rumah sakit lagi untuk sekedar membuka selang infus.
Sekitar semalaman aku membiarkan diriku lemas di tempat tidur.
Tapi tidak masalah, aku sangat menikmatinya sementara Mama dan Mbak Agnes Gantian mengurus Bumi.
Apa? Mau tanya tentang Mas Akbar lagi?
Basi.
Pagi buta dia sudah pergi lagi. Toh keberadaannya di sini sangat tidak dibutuhkan. Aku mendiamkannya, tapi malah dia ikut diam tanpa menanya ini itu lagi.
Ya sudah. Membosankan sekali hidup dengannya. Ketika gairah marah-marah ku sedang kumat, dia malah diam seribu bahasa.
Suster Rita sudah pamit ketika kami dikagetkan dengan gedoran pintu yang membabi buta.
Siapalah gerangan yang datang tidak tahu sopan santun itu.
"Kamu mau kemana?"
Mama menyorotku tajam saat sudah mau terbirit ke bawah. Bagaimana tidak, aku sudah bosan di tempat tidur sementara aku ingin marah-marah mumpung ada yang membuat masalah di depan.
"Itu siapa juga! Udah, biar mama yang lihat," Mama sudah bersiap pergi ketika aku dengan kesadaran tingkat rendah mendahului mertuaku itu.
Alhasil, hampir saja aku terjerembab di sudut meja. Bukan masalah sakitnya, tapi pastilah aku akan kena marah Mama lagi. Oh tidak, mertuaku itu suka sekali bertele-tele kalau mengomel.
Memang kamu tidak, mia?
"Siapa sih?" Kataku sudah siap menyemburkan kemarahanku. Bayangkan saja baru beberapa menit yang lalu selang infusku dilepas, sekarang aku sudah bisa lari sana sini dan memarahi siapa pun yang mengesalkan.
Aku sangat berharap itu suamiku sih, tapi ketika pintunya terbuka, aku bahkan langsung bisa mengenali siapa yang sedang berdiri dengan leher digips itu.
Kemarahanku langsung surut berganti rasa takut. Aku menengok ke belakangnya dan bersyukur karena tidak menemukan dua orang berseragam polisi seperti di film-film.
Dengan membekap mulut, aku pura-pura kaget. Padahal sebenarnya, aku sudah kaget di awal.
"Mas kenapa ngetuk-ngetuk pintu saya kayak ada dendam? Itu tangannya ga sakit, emang?" Tanyaku.
Pria itu berbeda. Dia menatapku dari atas ke bawah penuh penilaian. Heh! Aku memang hanya memakai daster rumahan, tapi tidak perlu dilihat seperti itu juga kan?
Pasti dia mengira aku pembantu!
Astagah Mia, kenapa kamu suka sekali berprasangka buruk?
"Shanas, saya cari Shanas,"
Heh?
Gantian, kini aku yang menatapnya dari atas ke bawah. "Kamu Ben, kan?" Tebakku. Memang ada berapa lelaki yang baru-baru ini Mas Akbar patahkan lehernya?
"Saya cari Shanas,"
Dan kenapa semua orang di dunia ini selalu mencari yang tidak ada?
"Masnya salah rumah kali. Ini saya Mia, istrinya Mas Akbar. Mas kalau kenal Mbak Shanas wajib kenal Mas Akbar juga. Nah, saya ini istri keduanya. Tapi tenang, sudah sah secara hukum kok!" Kataku berujung curhat. Ya supaya dia tahu saja, aku ini istrinya Mas Akbar juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND WIFE (End)
Romance⚠️ BACA SELAGI LENGKAP 🚫 NO PLAGIAT-PLAGIAT CLUB ⚠️ REVISI TELAH SELESAI Awalnya semua baik-baik saja. Mia dan Adiknya menjalani kehidupan seperti biasa, menjajalkan kue buatan Ibunya di jalan besar bersama anak-anak dari kampungnya. Lalu kebakar...