31| Melayani Diri Sendiri

21.2K 1.7K 71
                                    

Akbar sudah mau menangis ketika memutuskan memasak untuk dirinya yang tiba-tiba lapar di pagi buta. Pria itu begitu merasa repot kalau harus menyalakan mesin mobilnya lagi untuk mencari sisa-sisa warung makan yang masih buka di jam itu.

Seharian mengurus rumah, membersihkan ini dan itu, pada akhirnya mengantarnya pada tidur panjang berujung kelaparan.

Dua hari sudah berlalu sejak ia datang ke hadapan Mamanya, mencari istrinya yang entah kenapa sampai sekarang masih tidak ada tanda-tanda akan pulang.

Akbar sudah berinisiatif mencari, lagi dan lagi di samping dia memperbaiki diri. Tapi ternyata Mia sangat suka liburan. Apakah wanita itu tidak tahu seberapa sengsaranya Akbar sekarang?

Pria itu bahkan harus menjalani drama teriris pisau, membumbui telurnya dengan ketumbar yang dikiranya adalah lada, dan drama-drama lainnya yang membuatnya sadar bahwa dia tidak bisa hidup tanpa perempuan di sebelahnya.

Mia tidak akan pernah membiarkannya menyentuh kompor karena wanita itu selalu bisa melayani Akbar meski harus dibumbui kata-kata pedas dan ocehan panjangnya.

Akbar meringis merasakan telurnya yang berubah tidak wajar. Dia sudah sangat lapar sampai nyaris melompat di tengah suasana dapur yang sepi ketika panci tiba-tiba jatuh dari atas meja menuju keramik yang dingin dan tentu saja menimbulkan suara ribut di tengah malam.

Akbar mengelus dadanya, hawa dapurnya tiba-tiba berubah sedikit horor. Alhasil, pria itu membawa serta gelas dan piringnya ke kamar lalu menyalakan tv senyaring mungkin niat hati mengusir sepi.

Akbar menghabiskan airnya, menyandarkan punggungnya di kepala ranjang yang belum lama dibelinya. Mengingat-ngingat wajah Mia ketika wanita itu membahas ide-ide gilanya di awal-awal mau membeli ranjang baru.

Memang hanya Mia yang bisa memarahinya, sementara Mama sudah ketularan cerewet oleh istrinya sendiri.

Pria itu mengusap wajahnya, kantuknya hilang diganti rasa sepi di tengah suara tv yang menggelegar membahas masalah politik yang sedang marak dibicarakan.

Pasti sekarang Mia sedang tidur nyenyak. Dan apakah wanita itu bisa tidur sementara Akbar uring-uringan?

Argh!

Ingin sekali Akbar menjemput anak dan istrinya itu di manapun mereka berada, memaksa keduanya pulang dan tidur di kamar ini bersamanya, paling tidak kalau Mia masih merajuk, Akbar akan merayu dengan puluhan tusuk sate yang siap santap.

Atau Akbar akan berlutut memohon maaf karena sudah menyadari kesalahannya yang begitu mengabaikan Mia.

Kalau Akbar diberi kesempatan itu malam ini juga, dia tidak akan ragu menancap gas di pagi buta demi keduanya.

Akbar sudah dalam tahap luar biasa kesepian. Tidak, ini bukan perihal baru bercerai lantas ditinggal Mia sekaligus, tidak.

Akbar sudah lama terbiasa tidak bersama Shanas. Dan ketika pria itu harus kehilangan Mia, rasanya ditimpa batu berton-ton saking ia tak sanggup.

Pria itu mendengus. Lagi-lagi memeluk bantal bumi yang menyisakan bau bayi itu, juga bantal Mia yang meninggalkan aroma shampo wanitanya.

"Besok-besok ga akan aku biarkan kamu liburan lagi," gumamnya sebelum memutuskan tidur.

***

"Astagfirullah, Akbar! Turun kamu!" Mama sudah nyaris melemparkan sandal karetnya ke arah sang anak ketika mendapati Akbar duduk di genteng rumah orang tuanya dengan baju tidur yang masih melekat di tubuh pria itu.

Astaga, bukan Akbar sekali...

Pria pendiam dan cool itu berubah merajuk dan menyimpan dirinya di atas genteng Mamanya agar dilihat seisi rumah.

"Akbar! Turun ga, Mama lempar ya kamu lama-lama!"

"Tidak mau, Mama balikin dulu anak istriku baru aku turun!"

"Gila po, kamu?" Tuduh wanita tua itu berapi-api. Bagaimana tidak, Akbar seperti sudah tak berakal lagi berada di sana. Mama mendadak pusing, bagaimana kalau Akbar benar-benar didorong setan lalu jatuh?

Kan bisa saja, katanya dalam hati.

Keseleo sedikit sih bukan masalah. Kalau sampai lumpuh, patah tulang, cedera berat, bagaimana? Jangan sampai anaknya tiba-tiba menduda karena itu.

"Bar, turun ih! Jangan bercanda kamu, tinggi lho itu," Mama mulai melunak. Tidak sampai hati melihat anaknya ditimpa stres luar biasa.

"Tidak, Mama bawa Mia dan Bumi di sini dulu baru Akbar mau turun," Ancam anaknya tak tahu malu.

"Engga mau! Alasan kamu aja mau ngancam Mama kan? Turun kamu!" Mama sudah bersiap melemparkan sandalnya, tapi Akbar tidak terlihat gentar sama sekali.

"Akbar minggir, Mama mau lempar!" Teriak Mamanya heboh saat tangannya melayangkan sandal karet miliknya ke udara, tepat ke arah Akbar.

Heh, kenapa juga dia harus memperingati dahulu?

Buk!

Akbar memegang kepalanya yang seketika oleng mendapat dampratan sandal. Sakit? Iya!

"Ma, pelan-pelan kenapa?"

Heh, ini anaknya melantur atau bagaimana?

"Turun Bar, aduh. Gimana dong kalau ketahuan Papamu, bisa kena marah nih Mama." Bujuknya, karena suaminya itu bisa marah besar mengetahui ulahnya menyembunyikan sang menantu hingga berujung mencelakai anaknya sendiri.

"Tidak mau Ma, Akbar tidak akan turun sebelum--"

"Sebelum apa? Kamu mau memeras Mama? Udah Mama bilangin Mama ga tau di mana Mia, masih aja keras kepala. Turun ga kamu!"

"Yaudah, Akbar mau di sini saja sampai Mia datang sendiri," putusnya, sama sekali tidak keberatan harus berada di atas genteng semalaman. Toh sebentar lagi Mamanya pasti akan buka mulut dan segera bertindak.

Wanita itu berkacak pinggang, tidak mau kalah. "Kamu ga takut kesambar petir? Rumah kita ini ga ada penangkal petirnya lho, bentar lagi hujan ini," katanya sok tahu.

Akbar menggeleng. "Mama kenapa susah sekali sih, bawa pulang Mia? Mama ga kasihan dengan Akbar? Mama ga kasihan kalau Mia atau Bumi kenapa-napa di luar sana?"

"Hallah! Ga usah beralesan kamu, Mama tahu kamu itu aslinya ga ada cinta sama istrimu," tuding sang Mama kejam.

"Mama, Akbar udah tua untuk main cinta-cintaan,"

"Heh! Cinta itu tidak melihat usia, kamu sekolah gak sih?"

"Di sekolah ga ada pelajaran cinta-cintaan,"

"Akbaaaar!" Geramnya. "Turun kamu!" Titahnya tak mau dibantah, tapi anaknya itu entah kenapa jadi keras kepala dan manja begitu, Mama tidak paham.

"Agnes! Ambilin Mama tangga! Biar Mama jewer telinga kamu ya Mas, kalau kamu ga mau turun!" Tunjuknya pada Akbar dengan kesabaran di ambang batas.

"Turun ga kamu!"

Akbar diam seribu bahasa. Mama yang gemas kemudian berlalu mencari tangga karena Agnes entah kemana tidak menyahutnya.

Baru beberapa langkah meninggalkan Akbar, tiba-tiba suara benturan keras terdengar di arah belakangnya.

Mama sontak menoleh kembali dan menemukan Akbar sudah terkapar di tanah.

"AKBAAAAR!" Teriaknya histeris.

"Apa sih, Mama berisik!" Tegur suaminya merasa terganggu dengan teriakan sang Istri.

Mama mengangkat tubuhnya, wajahnya penuh keringat mendapati dirinya di dalam kamar tidurnya.

Sontak ia mengusap wajahnya, astaga hanya mimpi ternyata. Ia jadi ngeri dan panik sendiri. Kalau Akbar benar-benar sampai bunuh diri bagaimana?

"Pah, antar Mama ke rumah Akbar, Mama mimpi buruk ini,"

***

Jangan terlalu serius, xixixi...

Made with love,

Searth

SECOND WIFE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang