Hari ini aku check up. Tapi Mas Akbar sedang tidak di rumah. Dari kemarin dia di rumah Mbak Shanas terus. Padahal ini sudah giliranku, kan?
Aku sudah menelpon berkali-kali, tapi tak diangkat juga. Aku membuang muka ke jendela. Lagi-lagi aku naik angkot. Aku sudah pernah ke kantor Mas Akbar, tapi di jam segini seharusnya dia sudah pulang.
Akhirnya aku ke rumah Mbak Shanas. Aku check up di klinik, bukanya sekitar jam lima sore. Aku sudah ambil nomor sejak siang, dan kebetulan urutanku masih di awal-awal.
Rumah Mbak Shanas bukan di perkomplekan, rumahnya dibangun dan dibesarkan sendiri sejak awal pernikahan mereka. Bangunannya juga lebih besar dari rumah yang kutempati. Wajar saja, saat membangun rumah kan yang ada di pikiran kita bagaimana keluarga besar nyaman dan muat di dalamnya. Mungkin mereka mengharapkan banyak anak untuk mengisi rumah gede itu.
Aku mengelus dada saat sudah sampai di gerbang utama. Beberapa mobil terparkir di sana. Dua di antaranya milik Mas Akbar, sementara duanya lagi punyanya Mbak Shanas.
Enak sekali jadi Mbak Shanas, kemana-mana bisa bawa mobil. Sedangkan--
Ah sudahlah. Sudah kubilang kan, istri kedua selalu dapat sisa-sisanya saja.
Aku mau membunyikan bel, tapi pintu rumahnya masih terbuka. Toh aku juga bukan orang asing, yasudah aku langsung masuk saja.
Saat aku masuk, tidak ada siapa-siapa. Sayup-sayup aku mendengar suara dari atas. Bukan tidak sopan, tapi kan ini rumah suamiku juga.
Saat aku sudah di lantai dua, barulah kulihat mereka berdua sedang menikmati sajian siang. Aku menolak mendekat ketika suara Mbak Shanas terdengar tidak enak di telingaku.
"Aku ga suka kamu cuman perhatian sama dia aja. Aku juga istrimu, tahu!" Kedengarannya Mbak Shanas sedang menyinggungku. Suaranya sama sekali tidak sabar, seperti sedang meluapkan keluh kesahnya.
Mas Akbar diam saja. "Pokoknya kalau Mia sudah lahiran, kamu cepat-cepat cerai. Aku ga tahan suamiku dibagi-bagi terus, Mas!"
Mbak Shanas berteriak kesal, lantas menegakkan badannya. Aku terpaku di tempat. Tidak sempat mencerna arti perkataan Istri pertama suamiku itu.
"Mas, kamu nyahut dong!" Wanita itu kesal dan suara tangisannya pecah. Aku sebenarnya sudah deg-degan, tapi menahan tangisku.
"Iya," barulah saat Mas Akbar menyahut, tubuhku gemetar hebat. Panikku kambuh.
Iya, apa? Dia akan ceraikan aku setelah bayiku lahir?
Nafasku langsung tercekat. Cepat-cepat aku pergi dari sana. Air mataku sudah berderai. Ya Tuhan, aku tidak pernah terbawa suasana sedalam ini.
Kupikir,
Huh, Mia. Kamu hanya istri kedua. Tempat menampung sperma suamimu, begitu kan?
Begitukah?
Aku berlari ke jalan raya, menyetop taksi seperti yang kulakukan terakhir kali.
Sepanjang jalan aku terus sesenggukan, sampai sopir taksi juga ikut menguji kesabaranku.
Karena bingung mau kemana, aku pun ke klinik sendirian. Dokter memang belum datang, tapi aku usahakan di sana lebih dulu. Mataku sembab, menjadi perhatian banyak orang.
Karena biasanya setelah menangis aku ketiduran, sekarang aku malah mengantuk. Untunglah belum ada pasien yang mengantri, aku pun selonjoran, mencoba menutup mata berharap sedihku segera pulih.
Cerai?
Aku tidak membayangkan itu saat aku menikah. Tapi ketika kutempatkan diriku di posisi Maduku, ternyata memang serba salah. Siapa sih, yang mau membagi suaminya? Selama ini hanya aku saja yang terlalu polos menerima perlakuan baik Mbak Shanas. Aku tidak paham betapa sakitnya diduakan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND WIFE (End)
Romance⚠️ BACA SELAGI LENGKAP 🚫 NO PLAGIAT-PLAGIAT CLUB ⚠️ REVISI TELAH SELESAI Awalnya semua baik-baik saja. Mia dan Adiknya menjalani kehidupan seperti biasa, menjajalkan kue buatan Ibunya di jalan besar bersama anak-anak dari kampungnya. Lalu kebakar...