16| Menebak-nebak

17.9K 1.5K 17
                                    

Aku sampai rumah sekitar pukul 3 sore. Setelah mengelilingi separuh bagian ibu kota, akhirnya ada hilal yang menunjukkan jalan pulang.

Bumi menangis sepanjang jalan, membuatku tidak tega. Aku tidak mungkin menyusuinya di jalan, sementara aku tidak membawa persediaan ASI dengan memanfaatkan alat yang dibelikan Mama sebelumnya.

"Haus ya, Nak?"

Bumi menggeliat. Aku menimangnya sambil menepuk pahanya, berharap dia segera tidur karena aku sudah tidak kuat menahan kantuk seharian.

Aku menahan napas ketika membaringkan Bumi di keranjangnya. Berharap anak itu tidak terganggu dengan gerakanku.

Setelah memastikan anakku pulas, aku segera membereskan rumah, mencuci pakaian kotor, lalu menjemurnya di teras belakang. Melelahkan memang.

Karena itu, aku tidak langsung mandi. Membaringkan tubuh di kursi dekat anakku, mataku kemudian rileks tertutup.

Baru beberapa menit, Bumi terusik lagi. Aku mendesah pelan, baru kali ini aku membiarkan diriku mengasihani diri sendiri. Aku menimangnya lagi agar dia tidur.

Hampir sejam, dan Bumi masih rewel. Apa mungkin ini pengaruh disuntik?

Entahlah, tapi ibu-ibu tadi bilang kalau bayi yang usai disuntik biasanya akan rewel bahkan sampai demam.

Oh, bagus sekali. Anakku sakit dan aku mengurusnya sendiri.

"Mama ngantuk, Nak. Bobok ya?"

Mengambil tempat di ujung tangga, duduk sambil menyusui Bumi yang sudah mulai tenang meskipun kakinya aktif bergerak.

Dari sini, aku bisa melihat seisi penjuru rumah ini. Aku tidak takut tinggal sendiri, sungguh. Tapi ketika sudah terbiasa ramai lalu sekejap sepi rasanya seperti ada yang hilang.

Aku meletakkan Bumi di atas dipan dengan aku yang berbaring memperhatikannya. Lama kelamaan aku tertidur. Sampai tidak sadar suamiku sudah di rumah, aku menggeliat merasa terganggu. Bahuku diguncang pelan.

"Engh!"

"Mia!" Sayup-sayup suara geraman suamiku menyusup di alam mimpiku. Aku mengangkat kepala,mendapati anakku di gendongannya.

Aku memperhatikannya sekilas, lantas menutup mata lagi. Sama sekali tidak.tertarik dengannya.

"Anak kamu nangis dan kamu tinggalin tidur, Mia?" Mas Akbar terdengar jengkel. "Gimana kalau dia bergerak ke pinggir terus jatuh lagi?"

Aku membalik tubuhku membelakanginya. Jujur aku sangat mengantuk, sampai mendengar suaranya saja aku malas.

"Mia!"

Aku berdecak.

"Saya lagi ngomong. Balik sini!"

Aku bergeming. Tak beberapa lama kurasakan tubuhku ditarik paksa hingga aku baring terlentang menghadapnya. Matanya menajam penuh kemarahan.

"Aku tidak tahu kamu marah kenapa, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya bertindak mengabaikan Bumi. Dia masih kecil, kalau tiba-tiba jatuh seperti tempo hari bagaimana? Jangan kekanak-kanakan, apa hak kamu untuk marah denganku?"

Aku meneguk ludah. Air mataku lolos seketika. Aku tidak suka menangis di depannya, karena terlihat lemah. Tapi kali ini perkataannya sangat menusuk. Aku tidak diperkenankan untuk bersikap konyol lagi.

Mas Akbar bergerak mundur, mengusap wajahnya dengan kasar. Aku tidak peduli dia menyesali perkataannya atau tidak. Dia sudah terlanjur membuatku menangis.

"Aku tadi capek, Bumi nangis terus. Ga sengaja ketiduran. Maaf," kuambil Bumi dari gendongannya, menimangnya dengan perasaan pilu.

Mas Akbar tidak berbicara apa-apa lagi. Dia keluar kamar entah kemana.

SECOND WIFE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang