21| Resmi Menikah

21K 1.5K 11
                                    

"Kamu kenapa nangis?" Mas Akbar menatapku heran bercampur bingung. Bagaimana tidak bingung, badanku benar-benar sakit luar biasa. Rasanya tidak ada duanya seperti habis dipukul dengan kayu di sekujur tubuh.

Inikah yang dikatakan sakit tapi tak berdarah?

"Aku ga bisa bangun, ini badanku sakit semua!"

Belum lagi semalam digempur habis-habisan, Mas Akbar memang menyumbang banyak rasa sakit.

"Duduk bisa?"

"Jangankan duduk, gerakin leher aja sakit, Mas..." keluhku.

"Yaudah, gausah nangis. Anaknya bangun nanti, aku gabisa susuin juga..."

"Yang nyuruh kamu susuin juga siapa," aku menghapus air mata buayaku. Mas Akbar membantuku bangun, sementara diriku tak bisa berhenti meringis sakit. Aku didera pening luar biasa, sepertinya hari-hari burukku tidak akan berhenti di hari kemarin saja.

Semakin ke sini semakin sulit menghadapi hidup. Aku bersyukur Mas Akbar sedang tidak dalam mode resenya lagi, karena aku tidak menjamin akan benar-benar ambil perasaan kalau dia sampai bertingkah abnormal lagi. Aku menerimanya dari dulu dengan segala bentuk perubahan sikapnya. Tapi, semua orang kan juga berubah. Masa dia mau-mau saja jadi penonton?

Ah, ini karena aku terobsesi dengan FTV-FTV yang sering kutonton bersama Mama. Tapi sungguh, aku kadang membayangkan Mas Akbar menjadi laki-laki yang setidaknya peka terhadap rangsangan.

Ah gimana sih, jelasinnya?

"Mau ngapain?" Tanyaku saat dia membongkar laci meja riasku. Mas Akbar mengambil beberapa produk kecantikan di sana.

"Eh?" Aku semakin dibuat bingung kala dia menuang cairan pembersih wajah di kapas.

"Kamu biasanya bangun tidur pakai ini..." tangannya lalu sigap membersihkan wajahku.

Engh? Gimana?

"Kamu kesambet apa deh, Mas?"

"Kenapa, salah lagi?"

Aku menggeleng kecil karena leherku tidak bisa diajak kompromi, dengan sedikit cengiran aku mengedipkan mataku. "Aneh aja lihat suamiku pagi-pagi ngurusin istrinya. Ga biasanya tuh, Mas!" Sindirku.

"Iya,"

Nah kan! Kumat sudah sindrom malas bicaranya.

"Kalau kamu udah baikan, sore kita ke Capil," sepertinya dia benar-benar tidak ada niat untuk membangun suasana romantis. Aku sudah nyaris ngilu saking manisnya dia pagi ini, eh dia malah biasa saja.

Tapi tunggu! "Ngapain ke capil, Mas?"

"Bumi butuh akta kelahiran, Mia,"

"Kita udah pernah bahas ini kan Mas?" Wajahku ditekuk bebas.

"Iya, Papa sudah bantu siapkan dokumen yang mau dipakai untuk buat akte nikah sekalian." Mas Akbar menjawab Malas, tapi aku sudah terlanjur menangkap maksudnya.

Akta nikah? Akta nikah kami? Itu artinya kami akan segera legal secara hukum, kan?

Tubuhku seperti langsung sembuh, aku sontak memeluknya. "Beneran, Mas?"

"Iya,"

"Aaaaa!" Aku berteriak girang, melupakan seluruh beban hidup. Ya Tuhan! Ini serius kan?

"Mas! Aku senang sekali!" Aku sampai mencekik lehernya karena tidak sabaran. Mas Akbar berdecak, tapi tidak menolak pelukanku.

"Makasih, Mia,"

"Aku yang makasih!" Aku mengecup pipinya sayang. Astaga, aku tidak menyangka ini akan jadi sangat mengharukan.

SECOND WIFE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang