Nyatanya, mencari Mia adalah kebodohan besar yang sudah dilakukan Akbar. Ibu kota begitu luas, sementara Akbar tidak punya tenaga lagi untuk bermain petak umpet dengan Mia.
Akbar tidak habis pikir kalau wanita itu benar-benar akan liburan dalam artian yang sebenarnya. Sudah dua minggu ini dia dibakar api sendiri. Bagaimana tidak, wanita itu bahkan tidak mengabari apa pun, Akbar selalu memeriksa ponsel barunya dua kali dalam lima menit, dan hasilnya nihil.
Mia seperti ikan yang baru lepas ke tengah lautan, wanita itu bagai lupa jalan pulang sampai mengabarinya saja sulit.
Akbar sudah frustasi dari jauh-jauh hari memikirkan anaknya yang entah baik-baik saja atau tidak, dan juga Mia beserta keteledoran wanita itu. Akbar banyak-banyak berdoa semoga Mia tidak melakukan hal-hal fatal dalam masa liburannya.
Liburan dalam definisi Mia memang tidak main-main, entah kemana wanita itu sebenarnya. Akbar sudah tidak tahan menarik wanita itu pulang walau nantinya akan menerima berbagai tamparan akan kebrengsekannya.
Akbar mengingat-ngingat kembali bagaimana Mia terakhir kali. Wanita itu tampak memohon agar dia tidak pergi malam itu, dan akbar lagi-lagi mengabaikannya.
Pria itu mengusap wajahnya yang kini lebih dari berantakan.
Baiklah, kalau Mia mau beristirahat, kalau perempuan itu lelah menghadapinya, mungkin satu dua minggu sudah begitu lama untuk dikatakan liburan. Dan Akbar tidak akan siap ditinggalkan lagi.
Cukup satu kehilangan, pria itu memutuskan mengetuk daun pintu di hadapannya.
"Tumben kamu ke sini?" Tanya Mama seperti biasa dibumbui nada sewotnya.
Akbar menggunakan polo shirt hitam dipadu celana bahan selutut dengan jaket senada, membuat sang Mama nyaris mengira ada polisi bertamu malam-malam ke rumahnya.
Mama menatap anaknya dari atas ke bawah, menyangsikan kehadiran Akbar seperti sesuatu yang tidak wajar.
"Malam-malam pulak, ini kutek Mama belum aja kering kamu malah bertamu, ganggu ih Bar," kata wanita itu sambil menunjukkan kuku panjangnya yang kini berwarna merah menyala.
Akbar menggaruk tengkuknya, kikuk.
"Cantik kan, Bar?"
Sejak kapan Mamanya berubah centil begini?
"Ma, Akbar ke sini mau cari Mia,"
Sontak saja wanita itu berkacak pinggang. "Gak salah? Ngapain kamu cari Mia di sini? Kamu kira rumah ini tempat pelarian?" Kata Mamanya mulai mendrama.
"Kalau gitu, Mia dan Bumi Mama bawa kemana?" Akbar berusaha sabar, karena yang berdiri di depannya ini sedang mengalami puber kedua.
"Dih! Kamu kira Mama penculik? Gatau!"
"Ma, Akbar serius..."
"Mama juga serius, kok Bar."
Akbar mengusap wajahnya, lagi.
"Mama, Akbar tahu Akbar salah. Mia juga ga sampai mau pergi jauh kalau bukan karena Mama. Istriku ga akan berani pergi karena dia ga ada tempat pulang selain rumah Akbar. Kalau bukan Mama yang tahu kemana Mia, terus siapa? Gimana kalau anak dan istri Akbar kenapa-napa? Apa Mama siap dengar satu dua berita buruk yang terjadi?"
Mama cemberut. "Kamu kenapa deh, Bar? Mia itu perempuan mandiri, selama ini dia juga ditinggal sendiri ga ada kamu. Kamu juga sampai berminggu-minggu ga ngunjungin dia tapi kamu baik-baik aja. Kenapa baru sekarang kamu nyari istri kamu itu? Baru sadar kalau kamu butuh? Baru sadar kalau kamu ga bisa ngapa-ngapain tanpa ada istri kamu di samping kamu?" Sindir Mamanya telak.
Mama mengibaskan tangannya yang terasa kebas. "Hallah, udah deh Bar. Masih banyak hal yang perlu kamu sadari sebelum kamu bawa diri kamu itu di depan Mia. Kamu harus lihat lagi ke belakang, kesalahan apa yang sudah kamu perbuat dan seberapa pantas kamu menjadi suami untuk datang ke Mia dan Bumi lagi. Cari, Bar. Mama cerewet gini biar kamu sadar kalau kamu itu brengsek. Biarin deh Mama menghina anak sendiri, ga ada ruginya juga. Seneng Mama tuh kamu ada di posisi ini, biar kamu berubah, biar kamu sadar. Pilihan orang tua memang bukan yang terbaik, Mas Akbar. Tapi seenggaknya apa yang Mama Papa pilih buat kamu adalah versi terbaik yang bisa kami usahakan untuk kamu." Cerocos wanita itu panjang.
"Kamu jangan hanya fokus dengan apa yang menimpa kamu, tapi fokus juga dengan apa yang sudah kamu timpakan sama orang lain, kadang masalah itu datang dari diri sendiri lho, Bar,"
Akbar dibuat bungkam.
"Ah udahlah, pulang kamu. Beresin rumah terus urus dirimu yang berantakan itu. Mama mau ngeringin kutek dulu, babay anak ganteng!"
Saat itu juga, Mamanya bergerak mundur lalu menutup pintu tepat di depan Akbar.
***
Berubah dalam satu hari yang sama adalah proses yang panjang, dan Akbar tidak akan melakukannya sekaligus saat itu juga.
Dia mulai dari membereskan rumah yang berantakan dengan barang-barang berhamburan di lantai. Beberapa di antaranya ada yang pecah, dan sisanya ada yang masih bisa dipungut dan diperbaiki.
Belajar dari benda-benda kecil, sekarang Akbar mulai dibuat sadar. Penantiannya dua minggu ini sia-sia karena ia tidak mengambil pelajaran apa pun selain rasa bersalah yang setengah hati bahwa Mia tidak terlalu pantas marah dengannya.
Dan ia salah.
Pria itu memulai semuanya dengan membuka pintu kamar mereka di mana wanita itu biasanya akan berguling di atas kasur sambil memperhatikannya bekerja lalu berceloteh tentang apa saja yang berpotensi mengganggu fokus Akbar.
Membuka lemari, Akbar menemukan pakaian Mia yang masih terlipat rapi seolah berkata bahwa wanita itu tidak benar-benar pergi meninggalkannya, masih ada niatan untuk kembali.
Berlanjut dengan membuka laci, disapa oleh tumpukan bon belanja beserta uang-uang sisa belanjaan. Akbar menarik buku kecil yang terselip di sana lalu membukanya.
Ia meringis, melihat tulisan Mia yang berantakan tentang apa saja yang wanita itu beli setiap hari dan berapa sisa uang yang tidak terpakai juga total kas keluar sehari-hari. Wanita itu juga mencatat jumlah dan tanggal berapa Akbar memberinya uang disertai emot senyum dan selipan kata 'horeee'.
Akbar beralih pada dua kartu debit yang awalnya sengaja ia buatkan untuk Mia tetapi tidak dipakai karena wanita itu tidak paham.
Hal-hal kecil seperti itu cukup membuat Akbar jatuh dalam jutaan kerinduan, bahwa ternyata Mia itu tidak hanya pandai mengomel, tapi juga bisa mengatur keuangan rumah tangga mereka.
Akbar membuka laci kedua, menemukan sebuah celengan ayam bertuliskan 'tabungan lahiran'. Akbar mengangkat benda itu dan sedikit mengocoknya, menyadari bahwa uang di dalam sana sudah pasti tidak terpakai ketika wanita itu melahirkan.
Mia sampai merencanakan sejauh itu, dan Akbar tidak menduga.
Pria itu tersenyum mendapati kotak cincin pernikahan mereka. Akbar membukanya dan mendapatkan satu cincin berdiri sendiri di sana, miliknya.
Akbar tidak suka memakai cincin, tapi kali ini dengan sadar lelaki itu mengenakannya.
Ya, banyak hal yang sudah dia lewatkan untuk mengenal Mia.
Perempuan itu hanya memperlihatkan apa yang ingin Akbar lihat, tidak yang sebenarnya.
Akbar mengambil bantal Bumi dari box bayi lantas memeluknya, astaga dia merindukan mereka berdua.
***
Made with love,
Searth
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND WIFE (End)
Romance⚠️ BACA SELAGI LENGKAP 🚫 NO PLAGIAT-PLAGIAT CLUB ⚠️ REVISI TELAH SELESAI Awalnya semua baik-baik saja. Mia dan Adiknya menjalani kehidupan seperti biasa, menjajalkan kue buatan Ibunya di jalan besar bersama anak-anak dari kampungnya. Lalu kebakar...