"Bapak yang menabrak saya kok bapak yang ngeyel?" Cercaku tak sabar. Kali ini untuk yang kesekian kalinya aku duduk di ranjang rumah sakit. Lenganku sobek dan mendapat dua jahitan. Hebat, bukan?
Bahkan setelah memarahi suster karena tidak dibius total saat dijahit, aku masih sanggup juga memarahi Bapak-Bapak 50-an tahun karena menuduh aku sengaja memasang badan di jalan.
Heh! Di mana-mana itu pengendara akan selalu kalah melawan pejalan kaki, tetap akan salah juga di mata hukum. Bahkan meski aku sendiri yang menabrakkan diriku.
"Mbak sendiri ngapain tinggal di pinggir jalan, lihat uang saya jadi melayang ratusan ribu!"
"Bapak ga lihat ini kulit saya melayang diganti benang? Uang bisa di cari, gimana kalau kulit saya, saya mau cari di mana? Bapak bisa kena pas--
"Mia!"
"Apa!" Seruku berapi-api akibat terbawa emosi. Setelah sadar, aku lantas menoleh dan mendapati suamiku berdiri dengan kedua tangan di pinggang.
"Ngapain ke sini?" Aku menarik selimut lalu berbaring, pura-pura kesakitan. Tiba-tiba aku melupakan kemarahanku pada Bapak itu.
"Kamu kenapa bisa kena serempet?" Tanyanya gusar saat sudah mengamati tubuhku cukup lama.
"Ga tahu," jawabku cuek. Biarkan dia menerka-nerka, biar dia tahu rasanya jadi aku, huh!
"Anda siapa?" Tanyanya pada Bapak yang duduk di pojok ruangan.
"Mbak ini nabrak kendaraan saya,"
Mataku nyaris menggelinding kalau-kalau aku tidak cepat menjawab, "Bapak kok nuduh saya? Kaki saya itu kesemutan, Bapak yang nabrak saya! Di sini tuh saya yang jadi korban!"
Mas Akbar memperhatikan kami berdua yang kembali berdebat.
"Bapak kalau masih tidak terima lebih baik kita selesaikan di kantor polisi, biar jelas siapa yang salah, anda atau istri saya" kata suamiku tenang.
Apa?
"Ga bisa! Orang jelas-jelas aku ga salah!" Kataku nyolot.
"Makanya kita ke kantor polisi, Mia..."
"Dih! Kamu aja yang pergi sana! Aku ga mau tuh!"
Mas Akbar tampak mengusap wajahnya. Aku kembali baring membelakangi mereka. Enak saja! Bagaimana kalau polisi bilang aku yang salah?
Mas Akbar itu aneh-aneh banget sih! Begini-begini aku juga segan sama polisi.
"Anu Pak, saya juga ga mau ke kantor polisi. Bapak cukup ganti uang rawat Mbak ini aja," kata Bapak itu, terdengar sangat sopan.
"Ya ga bisa dong, Pak. Itu sudah dihitung sebagai uang pertanggung jawa--
"Iya, saya akan ganti." Sela Mas Akbar cepat.
Aku berbalik lagi menghadap keduanya. Kenapa jadi dia yang repot sih? Dan benar saja, Mas Akbar betul-betul mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan diberikan ke Bapak itu.
"Enam ratus ribu, Pak." Kata Bapak itu saat suamiku menanyakan uang yang dia keluarkan.
"Lima ratus ribu, Bapak ini kok nambah-nambah sih!" Koreksiku.
"Lha, Mbak kan naik motor saya sampai rumah sakit. Tidak ada yang gratis jaman sekarang..."
Apa?
Bapak itu segera berlalu pergi setelah mendapatkan maunya. Aku berdecak kesal. Tidak terima.
"Kata suster sudah boleh pulang," Mas Akbar mendekat.
"Pulang saja kalau mau pulang, aku ga manggil kamu ke sini juga kok,"
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND WIFE (End)
Romance⚠️ BACA SELAGI LENGKAP 🚫 NO PLAGIAT-PLAGIAT CLUB ⚠️ REVISI TELAH SELESAI Awalnya semua baik-baik saja. Mia dan Adiknya menjalani kehidupan seperti biasa, menjajalkan kue buatan Ibunya di jalan besar bersama anak-anak dari kampungnya. Lalu kebakar...