Sepertinya, sejak Putraku lahir, rumahku tidak pernah kosong. Kalau ada Mas Akbar, mungkin hanya kami bertiga. Tapi kalau suamiku itu sudah berangkat kantor, rumahku akan ramai.
Ada Mama yang selalu datang pukul delapan pagi sampai selesai jam makan siang, ada Mbak Agnes juga yang kadang pulang sampai magrib.
Mereka memang sengaja datang saat suamiku pergi, karena kalau Mas Akbar ada, dia tidak akan membiarkan putranya digendong oleh Mama sekali pun.
Sadis, bukan?
"Kok Mbak Shanas ga pernah kesini, ya Ma?" Aku tiba-tiba mempertanyakan itu. Sebenarnya aku sudah tanya sama Suami, tapi aslinya saja Mas Akbar yang cuek. Aku juga tahu, sepertinya hubungan mereka sedang tidak baik. Bahkan Mbak Shanas tidak datang di hari persalinanku.
Kenapa? Bukannya dia antusias sekali saat aku hamil? Rasanya aku ingin mengorek masalah mereka, deh.
Mama tidak menjawab, malah asyik menonton sinetron favoritnya. Mumpung Agnes sedang menjaga Bumi, aku memutuskan untuk mengepoi Mertuaku.
Iya, sekarang anakku kupanggil Bumi. Sebenarnya aku risi, tapi mau bagaimana lagi. Suamiku sudah terlanjur membeberkan nama itu ke keluarganya, yang entah kenapa langsung disetujui semua orang.
Langsung saja putraku dipanggil Bumi, bahkan dengan Ibu-Ibu tetangga sekalian.
"Mama dengar ga, sih?" Aku menggeser duduk di lantai, biar ikut ngeteh sama Mama.
"Ya bagus dong, Mia. Berarti kamu ga perlu repot-repot lagi bagi suami kamu,"
Aku tahu mertuaku tidak akrab dengan Mbak Shanas, tapi mendengarnya berkata begitu, aku semakin penasaran. Ada apa sih, sebenarnya?
"Bukannya begitu, Ma. Mia khawatir aja sama Mbak Shanas. Apa jangan-jangan dia marah sama Mia?"
"Memang kamu ada buat salah sama dia?" Mama masih tidak mengalihkan fokusnya dari TV.
"Ah, Mama. Mama pasti tahu sesuatu kan?" Pancingku.
"Kamu jangan ngajak Mama ngegibah, ya Mia," Mama sudah menggeram, aku cengengesan. "Sudah sana, kamu bukannya habisin makanmu malah gangguin Mama nonton," dumelnya. Ya ampun, Mama kalau serius nonton jadi kayak Suamiku saja.
Baiklah, karena tidak mendapat jawaban yang kuinginkan, dan karena lapar juga, aku pun memutuskan untuk mencicil sayur yang sudah Mama targetkan harus kuhabiskan sebelum makan siang.
Aduh, bisa-bisa aku gemuk mendadak. Tubuhku sudah kecil, pendek, kalau ditambah gemuk, bisa ditinggal suami, aku.
"Ranjang mobil-mobilannya bagus ya, Mia," bukan cuman Agnes yang bilang begitu, Mama juga berkata yang sama. Aku tidak paham kenapa mereka tidak bertanya kenapa aku membeli barang menjengkelkan itu secepat ini. Harusnya kan kalau Bumi sudah bisa dilepas tidur sendiri.
"Mas Akbar yang beli Mbak, bukan aku,"
"Serius? Ya Allah! Keren tahu!"
"Keren gimana Mbak, aneh gitu harganya," harganya ya, bukan bentuknya. Aku masih tidak memaafkan benda yang satu itu, apalagi selalu mengundang tanya orang-orang ketika datang ke rumah.
"Mas Akbar emang gitu, Mia. Dia tuh jarang belanja, tapi kalau ada hal menarik kayak benda yang lucu gitu, pasti dia beli. Bahkan kalau harus sampai main lelang pun, dia bakalan tawar harga tinggi. Percaya deh!"
Masa sih? Ngeri banget suamiku.
"Oh ya, kamu kenapa ga minta pengasuh aja buat Bumi?"
Pengasuh? Sepertinya bukan hanya Mas Akbar yang akan protes, tapi juga Mamanya.
"Aku masih bisa kok, Mbak. Lagian aku ga mau anakku ketergantungan orang lain. Aku juga ga sibuk, di rumah aja."
"Ya seenggaknya pembantu. Kamu ga mungkin nyuci sambil gendong anak, kan?"
Masuk akal juga. Nanti deh, aku coba bicarakan dengan Mas Akbar.
"Aku gamau," nah, kan! Belum juga apa-apa, dia sudah tidak setuju. "Aku bisa nyuci bajuku sendiri kalau kamu susah ngelakuin itu,"
Suami nyuci? "Mas mau aku berdosa?"
"Yaudah ga usah pake begituan,"
"Tapi di rumah Mbak Shanas ada pembantu, kok!"
Wajah Mas Akbar langsung kaku. Dia membuang muka ke lain arah. Tiba-tiba aku merasa ada yang janggal setiap kali aku menyebut nama Maduku itu.
"Mas ada masalah apa sih sama Mbak Shanas?" Tanyaku berani.
"Kamu ga usah ikut campur urusan rumah tanggaku," Mas Akbar langsung berlalu pergi.
Rumah tanggaku? Maksudnya apa? Jadi menurutnya selama ini aku bukan bagian dari rumah tangganya?
Dia masih menganggapku orang asing? Bahkan setelah melahirkan Putra tampannya itu?
Hatiku langsung tersentil. Apalagi yang kulakukan kalau bukan menangis? Mudah sekali bukan dia berkata-kata pedas?
Sejak hari itu, aku tidak pernah lagi membahas rumah tangga Mas Akbar. Sebenarnya aku penasaran, tapi ya sudahlah. Aku lelah menangis terus, sudah jadi Ibu juga.
Setelah menyiapkan sarapan untuk suami, aku menyempatkan diri membereskan kamar Bayi yang sama sekali tidak dihuni kalau malam. Namanya saja kamar bayi, tapi kalau malam tidurnya di keranjang juga.
Mas Akbar belum tega menyimpan anaknya di ruangan berbeda. Tahu begitu kenapa beli ranjang gede segala? Mahal pula! Ish! Entah sampai kapan topik kemarahanku akan berubah.
Aku berdecak, tidak habis pikir. Bagaimana bisa bayi yang berumur sebulan saja belum, tiba-tiba sudah main lego? Bukan cuman lego, robot-robotan pun ikut berserakan.
Tentu saja ini ulah suamiku. Kalau menggendong Bumi, dia pasti akan membongkar semua mainan yang dibeli lalu dihambur ke lantai. Seolah anakku sudah bisa melihat saja.
"Mas pulang, kan?" Tanyaku saat kutangkap keberadaannya di ujung pintu. Dia bersandar manis di sana seperti tuan, sementara aku seperti babu yang sedang membereskan kekacauan akibat ulahnya.
"Larut, jangan tunggu,"
"Kenapa? Bukannya ini jadwalnya Mbak Shanas? Udah dua bulan ini Mas ga balik-balik ke sana, lho!" Nah, kan! Keceplosan lagi. Mau kutahan bagaimanapun, argumen ini selalu tinggal di ujung lidahku.
"Kamu ga suka aku di sini?" Tuduhnya cepat.
"Bukan ga suka, ga enak aja, Mas,"
"Harusnya kamu ga usah terlalu mengurusi kami,"
Aku langsung berdiri. "Jadi aku ini apa? Kenapa Mas ngomong seolah aku ini hanya orang asing? Aneh kamu Mas!"
"Maumu apa sih, Mia?" Mas Akbar sudah terlihat berang. Aku membuang napas kesal.
"Kenapa sih, Mas, kamu ga bisa terbuka sama aku? Di sini aku juga istri kamu, masalah rumah tangga harusnya kamu juga melibatkan aku, bukan malah--
"Aku sudah telat," potongnya seenak hati. Dia pergi begitu saja bahkan saat emosiku sudah naik ke ubun-ubun. Ah, sudah lama aku tidak merasakan marah luar biasa seperti ini.
Sebelum Mama atau Mbak Agnes datang, aku langsung membawa bayiku pergi. Aku tidak menghiraukan sama sekali perintah Mas Akbar. Aku sudah kepalang tanggung di jalan raya.
Segera kucari taksi yang sedang berkeliaran mencari penumpang, lalu minta diantar ke rumah Mbak Shanas.
Terserah Mas Akbar mau marah bagaimana nanti. Yang paling penting, aku tahu inti masalahnya. Aku tidak mau terus-terus seperti kura-kura dalam cangkang. Kalau Mas Akbar tidak mau berbagi, akan kucari tahu sendiri.
Titik.
***
Made with love,
Searth
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND WIFE (End)
Romance⚠️ BACA SELAGI LENGKAP 🚫 NO PLAGIAT-PLAGIAT CLUB ⚠️ REVISI TELAH SELESAI Awalnya semua baik-baik saja. Mia dan Adiknya menjalani kehidupan seperti biasa, menjajalkan kue buatan Ibunya di jalan besar bersama anak-anak dari kampungnya. Lalu kebakar...