"Makan lagi, Mia?" Mbak Shanas memberiku sesendok bubur. Aku menggeleng lemah. Desakan dari lambungku sudah mengetuk-ngetuk rongga leherku. Aku benar-benar tersiksa, rasanya aku seperti dipasung.
Mbak Shanas menyimpan mangkuk ke atas nakas, lalu memberiku air. Belum sempat kusedot, perutku langsung bergejolak, keluarlah semua kebiadaban yang tertahan sejak lama.
Aku menangis, tentu saja. Aku sudah dua kali muntah hari ini. Tadi subuh dan sekarang. Mbak Shanas panik, lantas memanggil suster. Lihat, sekarang aku terlihat menjijikkan seperti zombie. Air mataku berderai, bibirku bergetar menahan isakan.
Bukan suster yang datang, tapi Mas Akbar. Seingatku dia sedang bertemu dokter Irene, dokter kehamilanku. Sedangkan Mbak Shanas sudah menjauh, apakah dia jijik? Tentu saja bodoh!
Mas Akbar mempertinggi sandaran ranjang, lalu beralih memijat tengkukku, mengelus punggungku. Aku memejamkan mata, merasa lebih baik. Dia mengumpulkan rambutku yang terurai menjadi satu, lalu menyanggulnya.
"Masih mau muntah?"
Aku menggeleng lemah. Tanpa kusangka dia mengangkatku menuju kamar mandi, lalu dengan telaten dia membuka dasterku, berikut pakaian dalamku. "Sebentar," dia keluar lalu kembali dengan pasta gigi dan juga sabun. Dia bisa dibilang memandikanku. Tangannya melap tubuhku dengan hati-hati. Lalu dia menggosok gigiku. Dia keluar lagi untuk mengambil baju gantiku, lalu memakaikanku. Dia menatapku sebentar sebelum menunduk dan mengecup perutku lama. Dia mengusapnya sebelum membawaku kembali ke tempat tidur.
Saat aku kembali, spreiku sudah diganti, bantalku pun begitu. Aku dibaringkan lagi di tempat keramat itu. Sudah terhitung empat hari aku di sana, tanpa bergerak samping kiri-kanan sekali pun. Aku meneguhkan hatiku, sabar, demi Bayiku.
Mama mertuaku juga sudah di sana. Beliau menatapku khawatir. Dia datang setiap sore membawakan keperluanku, mencuci pakaian kotorku, juga kadang memperhatikan makananku. Dia selalu menanyakan mau makan apa, dan besoknya dia akan datang membawakan apa yang kumau.
Mas Akbar mengambil air yang sudah dipasangkan sedotan, kemudian menyodorkan kepadaku. Aku hanya meminum sedikit, mengernyit merasakan manis dalam air itu.
"Lagi," pintanya. Aku menggeleng.
"Kenapa?" Tanya Mama.
"Dia ga mau minum," adu suamiku. Aku menatapnya kesal, sebentar lagi pasti Mama akan memberikan wejangan panjang tentang pentingnya air untuk orang hamil.
"Mia, ayo diminum. Kamu ga mau cepet sembuh? Air sangat berguna untuk mengisi cairan tubuhmu. Kamu mau diinfus terus?"
Nah, tuh kan!
Dengan kesal aku menerima air itu lagi. "Rasanya manis," ringisku.
"Kan lagi sakit," kata Mas Akbar. Aku mencibir, keadaanku sudah tidak seburuk pertama kali aku di sini. Pendarahanku juga sudah sangat jarang, tapi bukan berarti aku sudah boleh pulang.
"Mama bawa sate buat kamu, makan ya?"
Jangan tanyakan betapa berbinarnya mataku. Aku sangat menginginkan sate, Mama sudah tahu itu kemarin. Dan yap! Beliau sangat baik, aku terharu bukan main.
"Mau..." aku merengek pada Mas Akbar. Dia berdecak, "makan nasi dulu tapi, perut kamu kosong banget."
"Gamau, ah. Mas mau aku muntah lagi?"
"Mia,"
"Mas," mataku memelas.
Mas Akbar mengalah. "Sedikit aja tapi, habis itu makan nasi."
Aku mengangguk saja, yang penting sate itu mendarat di mulutku. Aku sudah tak bisa membayangkan, karena satenya benar-benar ada di mulutku. Bumbu kacangnya lumer di lidah, aku belum pernah makan seenak ini sejak dirawat di rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND WIFE (End)
Romance⚠️ BACA SELAGI LENGKAP 🚫 NO PLAGIAT-PLAGIAT CLUB ⚠️ REVISI TELAH SELESAI Awalnya semua baik-baik saja. Mia dan Adiknya menjalani kehidupan seperti biasa, menjajalkan kue buatan Ibunya di jalan besar bersama anak-anak dari kampungnya. Lalu kebakar...