Aku sudah ingin menangis karena Bumi tiba-tiba badannya panas dan rewel luar biasa, sementara aku berdiri saja susah akibat pusing yang sudah dari tadi mendera.
Aku sudah mencoba menghubungi Mas Akbar, tapi tidak diangkat. Aku benar-benar sudah lemas, Bumi tidak bisa diam barang sedetik.
"Halo Mia," suara Mbak Agnes terdengar ceria saat menerima telponku.
"Halo, Mbak sibuk ga?"
"Iya nih. Mau dinas ke luar kota lagi, jadi harus urus beberapa berkas. Eh, itu Bumi kok nangis? Kenapa?"
"Shhh," aku memperbaiki timanganku. Benar-benar menjadi Ibu harus siap kerepotan.
Sambil menjepit ponsel di antara telinga dan bahu, aku menjawab, "kayaknya demam deh Mbak. Ini dari semalam nangis terus, badannya anget ini,"
"Lah? Udah dikasih antibiotik?"
"Ga ada obat di rumah, aku juga ga tahu mau kasih obat apa. Biasanya sakit kalau habis disuntik. Tapi ini kayaknya sakit beneran deh, Mbak..."
"Ya Allah, aku ke situ sama Mama ya?"
"I-iya,"
"Mas Akbar sudah kamu telpon?"
"Uhm, iya..."
"Yaudah, tunggu ya," pesannya. Dan Mbak Agnes tidak main-main, hampir sejam lebih menunggu akhirnya dia datang bersama Mama yang sudah pucat duluan melihat keadaan cucunya.
"Aduh, anget sekali. Apa ga dibawa ke dokter aja ya?" Tanya mertuaku itu. Aku sekarang sedang duduk di kasur memperhatikan keduanya mengurus Bumi.
"Akbar mana pula ini, anaknya sakit kok malah ga ada!" Gerutunya.
"Mama, Mia juga sakit..." aduku. Aku tidak mau kedapatan berdrama pingsan segala karena sudah tidak sanggup, jadi lebih baik Mama tahu di awal.
"Lho? Kamu kenapa juga? Pantes dari tadi berdiri gamau..."
"Pening Ma. Dari semalam ngurusin Bumi rewel, kalau berdiri kepalaku oleng, terus berkunang-kunang, kadang juga sesak," keluhku seperti sedang berkonsultasi pada dokter.
Mama mendekat, meraba keningku lalu mengernyit. "Tapi ga panas, Mia,"
"Agnes! Coba telpon Mas mu ih! Ini kok lagi susah begini malah keluyuran ga jelas. Kata Papa juga ga masuk kantor. Ini pasti gara-gara istrinya itu, coba telpon dulu," Mama suka sekali marah-marah kalau bahas Mbak Shanas. Aku meringis, bagaimana kalau aku di posisi dia yang dengan kondisi tidak akur dengan Mama. Apa aku akan bertahan juga?
Rasa-rasanya Mbak Shanas begitu hebat menjalani semua ini. Tidak salah juga kalau dia menyalahkanku, sebenarnya.
"Ga diangkat, Ma," Mbak Agnes menunjukkan ponselnya. Aku menghela napas, kali ini rasanya berat. Mas Akbar sudah keterlaluan. Apa dia sengaja? Atau benar-benar tidak lihat?
"Mama, Mia tidur sebentar boleh?"
Mama mengangguk khawatir. "Nanti Mama bangunin kalau Masmu sudah pulang,"
Kalau dia mau pulang. Bagaimana kalau tidak?
Entahlah. Kepalaku terlampau sakit untuk sekedar memikirkan orang yang bahkan memikirkanku saja tidak.
Terserahlah, Mas!
***
Oh, bagus sekali. Sementara Bumi mulai tenang setelah diberi obat, aku malah harus membiarkan diriku dipasung di tempat tidur dengan cairan infus mengalir ke tubuhku.
Bahkan sampai sekarang aku masih tidak terima dengan hasil diagnosa dokter bahwa aku terserang maag. Padahal, kalau dari gejalanya, aku malah merasa kekurangan darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND WIFE (End)
Romance⚠️ BACA SELAGI LENGKAP 🚫 NO PLAGIAT-PLAGIAT CLUB ⚠️ REVISI TELAH SELESAI Awalnya semua baik-baik saja. Mia dan Adiknya menjalani kehidupan seperti biasa, menjajalkan kue buatan Ibunya di jalan besar bersama anak-anak dari kampungnya. Lalu kebakar...