12| Aneh

18.6K 1.7K 13
                                    

"Tri apa kabar?" Aku mengelus surai adikku yang sekarang asik menggoda keponakannya.

"Kata Mama kamu udah bisa baca qur'an besar ya?"

Tri mengangguk, tidak terlihat tertarik denganku. Aku baru saja tiba di rumah mertuaku ketika tidak kutemukan apa pun di rumah besar Mbak Shanas. Wanita itu tidak kelihatan di sana, mobil yang biasa dipakainya tidak terparkir di garasi, menjelaskan secara detail bahwa dia memang tidak di rumah.

"Jagain adek dulu ya Tri, Mbak mau cari makan di belakang. Lapar..." keluhku.

Aku bergerak ke dapur tanpa menunggu jawaban Tri. Sementara itu, Mama sedang tidak di rumah.

"Lho? Tak kira Mbak ga ada," kataku sedikit kaget mendapati Mbak Agnes di dapur dengan semangkuk mie instan.

"Kamu datang dari mana? Ga tau aku kalau kamu datang, duduk sini!"

"Kata Tri gaada orang di rumah,"

"Heh, aku dari tadi di dalam, bantu habisin mienya Mia, sudah penuh perutku nih," Mbak Agnes terlihat sudah muak dengan makanan di depannya, saking banyaknya.

Aku menggeleng kecil. "Pengen makan yang berat-berat, Mbak,"

"Ngh? Hamil lagi kamu?"

Aku melotot, yang benar saja. Tidak semua keinginan kita disebut ngidamnya orang hamil kan?

"Mbak apaan deh,"

"Kirain,"

"Aku tadi dari rumah Mbak Shanas, tapi gaada orang," kataku bergerak ke kulkas, mencari sesuatu yang bisa kumasak.

"Oh,"

"Kenapa ya Mbak, suamiku kayak ada nyembunyiin sesuatu gitu," kataku selagi membuka kontainer berisi bumbu-bumbu halus.

Mbak Agnes meneguk airnya, "perasaan kamu aja,"

Aku membalik badan ke arahnya sambil bersedekap, "tapi aneh tahu,"

"Aneh gimana, Mia?"

"Ya Aneh Mbak, biasanya Mbak Shanas ke rumah tuh. Dua bulan ini ga ada, aku lahiran aja dia ga dateng, aku berhak kepo dong. Mana Mas Akbar juga auranya kayak mau perang aja tiap kali aku bahas rumah tangganya sama Mbak Shanas,"

"Udah lah, kamu itu baru lahiran. Urusin anakmu aja, yang kamu urusin belum tentu lagi peduliin kamu tuh,"

Aku melirik iparku dengan tanda tanya besar. Menyimpan rasa penasaranku yang sudah mendobrak ingin keluar dalam bentuk emosi negatif, aku kembali fokus ke isi kulkas.

Mungkin memang benar, ada masalah dengan suamiku dan istrinya. Apa pun itu, kuharap tidak ada hal buruk yang terjadi kedepannya, selain sesuatu yang menguntungkanku dan anakku.

Aku hanya tidak ingin munafik.

"Bumi kamu bawa?"

Aku mengangguk, menyalakan kompor dan mengisi panci dengan air. Aku menemukan jagung dan seperangkat sayur bayam beserta kawan-kawannya, bersiap membuat sayur bening.

"Lho? Mana-mana?!" Mbak Agnes bergerak ke depan, bisa dipastikan dia akan menemui keponakannya.

Aku terkikik kecil.

Sambil nonton, aku menyuapkan makanan ke mulutku. Sesekali memperhatikan adegan pemain ftv kesukaanku.

"Ihh gemes!" Kudengar Bumi terusik, aku menggeleng kecil memperhatikan interaksi anakku dan tantenya itu.

"Sayang, pipinya merah ya, iya?"

"Nghh!"

"Anakmu ini lho! Ah, pengen kubungkus!" Mbak Agnes menoleh padaku.

Aku tertawa, "Mbak siap-siap aja dikarungin Mas Akbar,"

Kakak iparku berdecak, kembali fokus pada keponakan kesayangannya. Tv di depanku sibuk memainkan perannya, sementara pikiranku tersibak kemana-mana.

"Loh kamu kok bisa di sini?" Mama tiba-tiba ada di rumah mendapatiku sedang bergelung di atas kasur sambil menepuk paha bumi yang ketiduran.

"Ini, tadi Mia mampir dari rumah Mbak Shanas, ga ada orang jadi ke sini deh," aku turun dari kasur, duduk di lantai sambil membereskan bekas pakaian Bumi yang keburu menangis saat mau kumandikan.

"Duh, bobok ya dia?"

"Baru saja tidur Ma,"

Mama bergerak menepuk pipi Bumi, yang hanya dibalas oleh geliatan kecil anakku itu.

"Sudah makan?"

"Udah, tadi Mia masak sekalian buat Mama juga. Papa mana?"

"Lanjut kerja dia, kamu minta jemput suamimu saja ya, Agnes lagi keluar ga ada yang antar kamu nanti,"

"Ke sini juga naik taksi kok Ma," ceplosku.

Mama langsung menghadiahiku pelototannya. "Kamu bawa anak naik taksi?!"

Aku mengangguk polos. Daripada naik angkut, kan?

"Mia, itu bahaya! Pertama, anak kamu masih kecil, masih merah. Kedua, ini Ibu Kota di mana semua orang bisa berbuat kriminal karena ada kesempatan,"

"Ya Allah Ma, ada-ada aja. Jangan nakut-nakutin Mia deh!"

"Nakut-nakutin gimana? Banyak lho kasus pembunuhan yang bermula dari--

Aku langsung menutup telinga. Tidak, ini sudah hampir magrib dan Mama harusnya tidak menceritakan kemungkinan apa pun yang hendak terjadi ketika aku ceroboh.

"Lagian kamu ngapain ke rumah Shanas, sih?"

"Ya gapapa, kan Bumi juga belum pernah ketemu sama Mbak Shanas,"

"Kamu pikir Shanas peduli?"

Aku sontak mengerutkan alis. Ada apa sih, ini? Mertuaku kok tiba-tiba jadi sensi tingkat tinggi.

"Lihat, kamu ngorbanin anakmu yang masih merah itu demi ketemu sama orang yang kepikiran mau nengokin kamu saja tidak,"

Bukannya Mbak Shanas antusias sekali dengan kehamilanku? Atau hanya perasaanku saja?

"Udah-udah, temenin Mama makan dulu,"

***

"Aku sebenarnya mau marah, Mia," keluh Mas Akbar di balik kemudi. Marah ya marah aja kali, Mas!

Aku tidak bisa menyuarakan isi kepalaku karena Bumi masih meluncur bebas di alam mimpi ketika Mas Akbar tanpa kutelpon bisa berada di rumah Mertuaku. Ralat, rumah Mamanya.

"Harusnya kamu ga perlu sedetail itu mengurus--

"Apa? Rumah tangga kamu?" Sergahku cepat. Oke, aku keterlaluan sih, tapi mau bagaimana lagi.

Mas Akbar melirik ku sekilas, dengan jengkel tentu saja. Dia menggaruk kepala karena tidak tahu mau mengatakan apa lagi.

Aku bersandar nyaman di kursi, berusaha tertidur sebelum diamuk Bumi.

Kami sampai di rumah hampir setengah sembilan malam dengan aku yang sudah mengantuk tingkat tinggi.

Kubaringkan Bumi di kasur, bersiap ke kamar mandi untuk membersihkan diri walau mataku sangat lengket.

"Aku sudah makan," Kata Mas Akbar saat aku baru selesai berganti pakaian.

Ya terus? Kenapa harus lapor segala?

Aku meliriknya sekilas, tapi sayang mataku sudah sangat lowbat, alhasil aku bergelung nyaman dalam selimut.

"Aku mau mandi dulu,"

Aku menoleh malas, menatapnya aneh.

"Apa sih kamu, Mas?"

"Aku mau mandi,"

"Yaudah mandi aja, kenapa harus ngomong juga sih?"

Dia berdecak, mengambil handuk dan berlalu ke kamar mandi, meninggalkanku dengan keheranan berlapis-lapis.

Kenapa sih, dia?

***

Made with love,

Searth

SECOND WIFE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang