"Apa?!"
Oke, suaraku sangat tidak bersahabat sekali ketika Mas Akbar membawa Bumi ke hadapanku. Tapi, aku sudah kepalang kesal, menyesal sih iya karena aku kedengaran galak sekali untuk ukuran seorang istri.
Heh, sejak kapan kamu peduli dengan perkataanmu Mia? -batinku mengejek.
"Marah," Mas Akbar duduk di ranjang baru kami. Ah lucu sekali, bahkan dia belum sempat tidur di sini ketika Mas Akbar memilih keliling dunia seminggu lebih dan pulang-pulang membawa istrinya.
"Kenapa?"
"Kamu marah,"
Engga tuh! Buat apa!
"Sini, dia tuh tadi habis mandi belum mimi," aku mengambil Bumi dari Papanya. Mas Akbar tidak mengelak untuk urusan yang satu itu. Aku bersandar di kepala ranjang dengan bantal di antara punggungku.
"Dia masih rewel?"
"Udah engga,"
"Kalau aku pulang dulu, besok baru balik, gapapa?"
Nah, kan! Arghhh!
Pulang katanya? Jadi selama ini dia di sini hanya numpang gitu? Singgah? Dia anggap apa rumah ini coba? Salah, maksudku dia anggap apa aku ini hah?!
"Mia?"
"Hm, terserah. Biasanya juga ga ada kamu, kan?" Aku menunduk, memperhatikan bayiku yang sedang menyusu. Terselip rasa kasihan pada diriku, tapi kutepis jauh-jauh. Kenapa juga aku harus menangiskan dia?
"Oke, Shanas udah nunggu di mobil. Aku berangkat," dia menunduk, membawa bibirnya ke ubun-ubun Bumi.
"Papa pulang ya," biskinya.
Aku membuang muka, jengkel sekaligus sedih.
"Besok pagi aku ke sini," dia mencium pipiku sebelum benar-benar berlalu pergi.
Sebelum air mataku lolos, aku sudah menghapus segala kesedihan. Ingat Mia, besok posyandu pertama Bumi dan kamu akan senam bareng Ibu-Ibu!
Iya, gak ada yang perlu diratapi.
Aku membaringkan anakku ke tempat tidurnya, sebelum mencuci muka dan bersiap tidur. Mama dan Papa sudah pulang sejak tadi. Sementara aku di lantai atas ketika suamiku dan istrinya bermain dengan Bumi.
Pagi harinya aku menyiapkan sarapan untukku dan Mas Akbar. Dia bilang mau ke sini kan?
Bumi baru saja tidur subuh tadi, anak itu terjaga dari jam satu sampai jam tiga. Tidak, dia tidak menangis.
Aku akan membawanya posyandu jam delapan, semoga Mas Akbar bisa diandalkan untuk itu. Aku tidak jadi senam bersama Nita dan teman-teman yang lain karena adikku Tri sedang sakit.
Tri baru saja dibelikan sepeda ketika musibah besar menimpanya. Tadi Omnya Mas Akbar menelpon, Tri diserempet mobil, nyaris membuatku jantungan dini.
Syukur dia tidak mengalami masalah serius, tapi aku tetap harus memeriksanya sendiri setelah selesai membawa Bumi ke posyandu.
"Papamu lama deh, nak!" Curhatku sembari menggendong Bumi. Sekarang aku sedang makan, dan Bumi masih asyik menyusu. Kalau kalian pikir aku akan menunggu Mas Akbar datang baru makan, tentu saja salah.
Perutku sudah lapar. Aku tidak ingin air ASIku bermasalah walau aku juga tidak tahu, tapi menunggu adalah hal membosankan yang tidak ingin kulakukan dalam waktu dekat.
Dan kalau Mas Akbar datang aku bersyukur. Kalau tidak, ya sudah.
Aku sudah was-was sebenarnya. Kubereskan meja dengan bumi di timanganku. Setelah semua siap, aku membawa anakku mandi. Jujur aku masih kaku memandikan Bumi. Hanya modal insting saja. Aku takut kalau tiba-tiba tanganku terlepas dan dia hanyut di dalam baskom. Oh, tidak lucu sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND WIFE (End)
Romance⚠️ BACA SELAGI LENGKAP 🚫 NO PLAGIAT-PLAGIAT CLUB ⚠️ REVISI TELAH SELESAI Awalnya semua baik-baik saja. Mia dan Adiknya menjalani kehidupan seperti biasa, menjajalkan kue buatan Ibunya di jalan besar bersama anak-anak dari kampungnya. Lalu kebakar...