"Mbak, temanku sudah banyak yang bisa bawa motor," adu Tri.
"Jangan ngawur kamu! Baru bawa sepeda aja udah diserempet, gimana kalau bawa motor!" Berabe deh adikku ini. Jangan lupakan jantungnya yang tidak normal dari kecil, mendapat bantuan perawatan dari keluarga Mas Akbar saja aku sudah sangat bersyukur. "Jangan aneh-aneh deh kamu, ini juga keserempet gara-garanya kamu ngikut temanmu kan?" Lanjutku.
"Aku padahal cuma cerita kalau temanku udah pada jago bawa motor, Mbak ngomelnya kepanjangan..." keluhnya dramatis.
Aku menyuapinya bubur. Semua orang tahu dia tidak sakit, hanya luka. Pencernaannya juga baik-baik saja, sama sekali tidak terpengaruh. Tapi, sudah biasa untuk orang sakit dipaksa makan bubur, kan?
"Tri?"
"Hm?"
"Mbak ada rencana mau jualan kue gitu deh, buat nambah-nambah penghasilan."
"Mbak mau ngajak aku jualan kue lagi?"
Masa iya! "Engga lah. Mbak mau titip-titip gitu, seru deh kayaknya punya penghasilan sendiri."
"Jadi keinget ibu-bapak deh Mbak..."
Aku tersenyum, lantas mengusap kepalanya. Seandainya dia anak perempuan, aku tidak akan tega melepasnya diasuh orang lain.
"Tri sekolah yang baik aja, biar bisa jadi insinyur kayak cita-cita bapak."
"Njih, Mbak."
Aku tersenyum. "Kalau libur boleh lah kamu main ke rumah Mbak. Mbak suka ga ada teman di rumah."
"Nanti deh, kalau ada yang antar," jawab Tri. Aku menyuapinya lagi.
Mas Akbar menghampiriku ketika anaknya sudah mulai rewel. Tidak lama di sana, aku diantar pulang. Suamiku akhir-akhir ini banyak urusan penting.
"Mas ga turun dulu?"
"Nanti telat," dia menunduk lalu memberi kecupan sayang pada anaknya yang asik terlelap di dekapanku.
"Aku ga pulang ya?"
Lagi?
Kenapa sih dia? Sejak Mbak Shanas datang sepertinya menginap di rumah adalah hal tabu baginya.
"Mia?"
"Hm, terserah," aku beranjak turun, tidak memperdulikan lagi perkataannya.
Menghela napas setelah deru mobil terdengar menjauh, aku memutuskan untuk mengistirahatkan tubuh.
Sore harinya aku menggendong bumi ke pasar bersama ibu-ibu tetanggaku. Kali ini kami akan bereksperimen lagi.
Sejak aku bilang mau jualan kue, mereka langsung antusias ikut-ikutan. Bu RT sampai buru-buru mengeluarkan mobil suaminya yang baru dicuci demi mengantar kami berbelanja di pasar.
"Catat baik-baik, Yu. Nanti ada yang kelupaan," kata Bu RT. Kami sekarang sudah hampir sampai di pasar. Sebenarnya aku belum pernah dibawa ke pasar basah atau pasar tradisional di kota ini.
"Sek-sek, ini tak cek ulang dulu," bu Ayu sengaja membawa sobekan kardus bekas dan pulpen untuk mencatat bahan-bahan yang akan kami beli, sementara Nita menonton resep di kanal youtube.
"Anteng ya, anakmu Mia..."
"Engga Bu, ini lagi mimi aja dia anteng begini. Semalam demam lho dia,"
"Lha? Iya ta? Sekarang masih? Kenapa ndak bilang, biar kita aja yang belanja..."
"Udah, ini udah mendingan dikit..."
Belum lagi semalam Mas Akbar tidak ada, aku harus menghadapi Bumi dengan kerewelannya yang luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND WIFE (End)
Romance⚠️ BACA SELAGI LENGKAP 🚫 NO PLAGIAT-PLAGIAT CLUB ⚠️ REVISI TELAH SELESAI Awalnya semua baik-baik saja. Mia dan Adiknya menjalani kehidupan seperti biasa, menjajalkan kue buatan Ibunya di jalan besar bersama anak-anak dari kampungnya. Lalu kebakar...