Buna Bangun

453 52 3
                                    

Petang itu, Naruto kembali menatap lekat sang istri yang masih menyembunyikan manik lavendernya. Hatinya teriris, melihat wajah putih sang istri yang semakin memucat.

Hari telah lama berlalu sejak insiden mengerikan yang membuat ratunya mengatupkan mata. Hari ini, tepat satu bulan sang istri tertidur, dan sampai sekarang ratunya itu tak kunjung bangun.

Naruto begitu berterima kasih kepada dokter dan perawat yang tak pernah meninggalkan villa Namikaze. Tapi ia juga sangat sedih karena Dokter belum memberikan kepastian tentang kondisi istrinya saat ini. Dokter berkata bahwa istrinya sudah stabil dan membaik, tapi mengapa sampai sekarang istrinya belum juga terbangun?

Air mata Naruto bahkan sudah mengering. Hampir setiap hari ia menangisi sang ratu yang masih mengantupkan matanya. Dirinya sangat takut, takut jika sang ratu tidak akan kembali lagi padanya.

Diiringi rasa sedih yang amat, Naruto menelusupkan kepalanya pada ranjang yang menjadi alas sleeping beauty-nya terpejam. Ia menggenggam erat tangan pucat itu, bibirnya pun tidak berhenti mengecup tangan pucat sang ratu. 

"Sayang, buka matamu aku mohon...." Lirihnya dengan isakkan pilu. 

Di belakang Naruto, nampak seorang wanita setengah baya menatap sedih putra tunggalnya. Wanita itu melangkahkan kakinya mendekati putra tampannya. 

Tangannya terulur untuk mengusap kepala Naruto lembut. Kemudian bibirnya mengecup puncak kepala putranya singkat. 

"Naru jangan nangis. Kaa-chan enggak tega liat putra Kaa-chan yang kuat kini menangis...." Lirih Kushina dengan air mata yang mulai berjatuhan di matanya.

Naruto yang merasakan usapan lembut, langsung membalikan tubuhnya menghadap sang ibunda. Tangannya terulur kemudian memeluk sang ibunda yang dipenuhi dengan hangat.

"Kaa-chan aku takut... Bagaimana kalo nanti Nata ninggalin aku sama Bolt?" Lirih Naruto semakin menenggelamkan kepalanya di perut sang ibunda. 

"Huss kalo bicara jangan sembarangan. Kamu enggak boleh ngomong jelek kayak gitu. Nata pasti bangun. Ia pasti sembuh.
Kamu serahkan semuanya pada Tuhan yah. Tuhan pasti memberikan yang terbaik untuk kita." Kushina mengelus puncak rambut Naruto lembut, mencoba menenangkan kerisauan yang hadir dalam hati putranya. 

Dalam pelukan hangat sang bunda, Naruto memejamkan matanya. "Kaa-chan benar, Nata pasti sembuh. Ia pasti bangun buat aku sama Bolt." Lirih Naruto yang berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Naruto menyesal. Seharusnya dia tidak terlalu terlarut dalam kesedihan ini. Seharusnya dia lebih banyak berdoa untuk kesembuhan sang istri, bukan menangisi dan menyesali semua yang terjadi. Tangisan dan penyesalan takkan mengembalikan waktu yang telah berputar, namun doa dapat memberikan keajaiban yang diharapkan.

....

Malam pada hari yang sama, bulan purnama menyinari bumi dengan sangat cerah. Banyak orang yang menghabiskan waktunya di malam dingin untuk memandangi keindahan sang rembulan.

Cahaya agung rembulan itu menusuk hingga jendela kamar villa keluarga Namikaze. Cahaya itu bahkan menyinari wajah pucat sang ratu yang telah lama tertidur. Karenanya, mata yang selama ini tertutup kini menampilkan manik indahnya.

Sungguh agungnya sang dewi bulan, hingga cahayanya mampu membangunkan seseorang yang telah lama terlelap.

Saat ini manik indah itu berusaha menyesuaikan cahaya rembulan yang menusuk retinanya. Setelah mata itu mendapatkan penuh kesadarannya, ia memutar ke seluruh penjuru arah. Objeknya terkunci pada box bayi yang berada tepat di samping kanannya. Bibirnya tersenyum kala melihat bayi mungil yang ikut menatapnya, seolah bayi itu memang sedang menunggunya terbangun. 

Dengan pelan, tubuh lemas itu berusaha mencapai sisi kanan tempat bayi lucu itu terbaring. Sang ratu yang masih lemas mencoba memberikan tenaga yang besar pada tangannya untuk menggendong bayi mungil lucu yang sedari tadi menatapnya.

"Bolt anak buna...." Lirih wanita itu mengecup seluruh permukaan wajah sang putra. 

Sontak bayi menggemaskan itu tertawa kencang karena kegelian yang dirasakannya. 

"Maafin buna ya sayang. Buna nakal enggak mau bangun." Ucap sang buna dengan air mata yang turun membasahi wajah ayu-nya. 

"Buna janji gak akan ninggalin kamu sama ayah lagi. Buna enggak akan biarin kamu sama ayah berjuang sendirian melawan dunia. Buna akan terus di samping kamu sama ayah buat mengecap manis-pahitnya dunia." Sang buna, Hinata menghapus air matanya agar tidak jatuh dan membasahi putra tercintanya.

"Ayah pasti nangis kejer ya liat buna yang enggak mau bangun." Disela isakkannya, Hinata tertawa kecil seolah sesosok badut tengah menghiburnya. 

Tak lama setelahnya, pintu terbuka, menandakan seseorang tengah memasuki ruangan mereka memadu kasih.

Hinata menatap lembut pintu yang terbuka. Senyuman manis ia tampilkan dengan sangat lebar untuk menyambut seseorang yang sangat dirindukannya.

"Bolt sekarang minum susu dulu ya~~" sang ayah yang memasuki kamar berujar dengan nada mendayu. Pria itu tidak menyadari bahwa sang istri menatapnya dengan senyuman indah saat ini.

Ketika matanya menatap langsung manik lavender Hinata, sang ayah langsung terkejut. Ia yang terkejut tanpa sadar melepaskan genggaman pada botol susu buah hatinya, sampai susu formula itu membasahi lantai.

"Nata...." Naruto berujar lirih. Tubuhnya seakan membeku di tempat, air matanya pun menetes tiba-tiba.

Lima belas detik kemudian, setelah tubuhnya mencair, Naruto langsung berlari memeluk sang istri yang sebulan ini mengatupkan mata indahnya. 

Naruto memeluk Hinata dengan erat, mengabaikan sang buah hati yang mulai menangis karena merasa pengap oleh pelukan sang ayah.

"Sayang terima kasih sudah bangun...." Dengan air mata yang mengalir deras, Naruto terus mengecup wajah sang istri.  

"Sayang, terima kasih telah kembali. Terima kasih mau bertahan dan bangun...." Ungkap Naruto. "Aku mohon jangan pernah seperti ini lagi. Jangan pernah meninggalkan aku dan jagoan kita lagi. Cukup satu bulan kamu tidur." Lanjutnya memohon.

"Terima kasih juga karena kamu sudah bersedia menungguku tertidur selama satu bulan." Timpal Hinata dengan air mata yang ikut mengalir deras.

"Aku berjanji akan menjagamu. Aku tidak akan membiarkan istriku terluka karena kelalaianku lagi." Naruto mengambil sebelah tangan Hinata yang menepuk dada jagoannya.

Tangan mungil itu Naruto genggam, sesekali ia cium hingga air mata yang mengalir membasahi tangan putih sang istri.

Hinata di tengah tangisannya tertawa kecil melihat suaminya yang menangis deras. Tangannya yang digenggam Naruto kini menghapus wajah suaminya yang dipenuhi air mata.

"Ayah jelek kalo lagi nangis."

"Biarin jelek juga!" Naruto buru-buru menghapus sisa air matanya dengan kasar. "Seharusnya kamu jangan hancurin momen haru ini dong...." Lanjut Naruto dengan memasang wajah cemberut.

"Biarin, siapa suruh pasang muka jelek," timpal Hinata tak berhenti mengejek sang suami.

"Untung cinta, kalo enggak aku buang ke sungai Han."

"Cinta Naru jugaaa...." Timpal Hinata dengan puppy eyes miliknya.

Naruto yang gemas kembali memeluk erat Hinata, ia bahkan tak memedulikan jagoannya yang merengek karena merasa diacuhkan.

Cinta dalam hidup manusia memang memiliki banyak cobaan. Pahit manisnya cinta akan terus berlanjut hingga manusia terbiasa dengan rasa itu untuk mengukir kisahnya sampai hari tiada.

End

Love For Life Season 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang