Ayah Jangan Nangis Buna Gak Papa Kok

384 45 3
                                    

Tepat pukul empat pagi, panggilan alam membuat Hinata terpaksa meninggalkan ranjang hangatnya.

Dengan pelan, ia berjalan menuju kamar mandi seraya tangan mengelus perutnya yang kian membesar.

Hinata sangat berhati-hati ketika menginjakkan kakinya di kamar mandi yang terasa dingin. Langkahnya semakin pelan, ia mencoba meminimalisir peristiwa fatal yang akan membahayakannya.

Namun sepertinya Dewi Fortuna pagi itu tidak berbaik hati pada Hinata. Hinata yang telah menuntaskan panggilan alam tanpa sadar telah menopang tangannya pada tempat yang salah. Ia menempatkan tangannya pada tembok yang sedikit basah. Hal itu membuat Hinata terjatuh dengan bokong menyentuh lantai terlebih dahulu. 

"Baby enggak apa-apa kan...." Lirihnya mencoba bangkit dari rasa sakit yang kini menyerangnya.

Namun detik berikutnya matanya membola ketika ia melihat bagian bawah tubuhnya yang mengalirkan darah hingga mengotori lantai putih kamar mandi. 

Hinata panik. Seluruh tubuhnya tegang. Ketegangan itu memicu buah hatinya bergerak nakal di dalam perutnya.

"Uhhh tenang Sayang. Buna di sini. Kamu jangan nakal ya.... " Lirihnya mencoba menenangkan sang buah hati.

Akan tetapi seolah menjadi anak yang pembangkang, perutnya itu terus bergerak, membuat Hinata kesakitan. Sangat sakit begitu batinnya berucap.

Hinata dengan panik mencoba menenangkan sang buah hati dengan mengelus lembut perutnya seraya mengucapkan kata-kata indah pada sang buah hati. Tapi kata-katanya tidak berarti untuk sang jabang bayi yang terus bergerak keras. 

"NARUUU!" Tak kuat terbangun dari posisinya, Hinata memanggil kencang sang suami yang tertidur pulas. 

Kesadarannya mulai mengabur kala rasa sakit semakin menyerang tubuh bagian bawahnya. 

"HINATA!" Hinata tersenyum kala melihat raut wajah khawatir sang suami.  

Naruto membola menatap lantai putih penuh darah. Dengan cepat, ia membawa Hinata ke luar dari kamar mandi. Kini perasaan khawatir menyerangnya secara bertubi-tubi. Dirinya juga tidak bisa berfikir jernih setelahnya. 

"Jagoan Ayah udah gak sabar liat dunia~" Hinata berujar dengan lirih. Ia mencoba mempertahankan kesadarannya agar suaminya sedikit tenang. 

Naruto amat sakit menatap sang istri yang kesakitan. Air mata kini mulai turun dari matanya. "Iya Sayang. Sebentar lagi jagoan ayah mau lihat dunia. Kamu jangan dulu tidur ya Sayang. 
Bertahanlah, Sayang~~" Lirih Naruto menatap Hinata dengan pipi yang kini penuh dengan air mata.

"Ayah jangan nangis, Buna gak papa kok." Ucap Hinata dalam gendongan sang suami. Tangannya beranjak ke atas kemudian mengelus pipi Naruto yang basah.

Naruto tersenyum kecil, setelahnya ia berlari keluar dari kamar hotelnya. 

Di lorong hotel yang panjang, keheningan melanda kekhawatirannya. Pagi itu orang-orang sibuk bergulat dengan ranjangnya, menyisakan Naruto yang berjuang sendiri untuk menyelamatkan istri tercintanya.

Naruto kala itu terlihat linglung. Ia lupa membawa kunci mobil saking paniknya. Dan sekarang ia bingung bagaimana caranya membawa sang istri yan terkikis kesadarannya ke rumah sakit.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Penjaga keamanan yang baik hati tiba-tiba menghampiri Naruto dan menawarkan bantuan.

Penjaga itu terlihat panik ketika melihat Hinata yang penuh dengan darah. "Ayo saya antar menuju rumah sakit."

"Terima kasih, Pak."

"Sabar, Sayang... 
Sebentar lagi kita sampai. Jangan tutup matamu ya...." Naruto memeluk erat Hinata yang kini dipangkunya. 

"Jagoan ayah juga jangan rewel. Mentang-mentang ayah pengen ketemu sama kamu, kamu malah bikin bunanya kesakitan.
Nanti kalo udah lahir jangan gitu ya.... 
Kamu harus jaga buna. Jangan buat buna kerepotan ya... 
Kamu anak laki-laki kebanggaan ayah.  Jangan pernah ngusahin buna kamu. Jaga buna. Jangan sampai kamu biarin buna disakiti oleh siapapun termasuk ayah ya...." Naruto mengelus perut Hinata yang masih bergerak tidak beraturan. 

Di tengah kesadarannya yang mencapai batas, Hinata tersenyum dengan apa yang dituturkan suami tercintanya. Tangannya kembali terulur kala melihat air mata yang masih bersemayam di pipi suaminya. Dengan susah payah ia menghapus air mata itu. Tanpa kata-kata, Hinata mencoba menghibur sang suami yang menangisinya.

'Apapun yang terjadi nanti, pertahankan jagoan kita. Aku tak apa pergi, jika itu dibutuhkan. Aku akan selalu mencintaimu.'


....

Love For Life Season 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang