5 - Perjalanan yang Sangat Dramatis

71 18 5
                                    

🔹🔸🔹🔸🔹Bismillah🔸🔹🔸🔹🔸

Selamat membaca

Jangan lupa vote dan komen, ya

🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹


"Woy, bantuin gue!"

Zevan membeliak. Kepalanya menggeleng sambil berkacak pinggang menatap Richal yang tengah kesulitan menyeret dua buah koper besar. Ditambah lagi dengan dua tas yang disampirkan di kedua bahu Richal.

Mau tidak mau, Zevan harus membantu Richal. Bagaimanapun juga, ia memiliki jiwa penolong yang patut diacungkan jempol. Meskipun yang ditolong adalah Richal, sahabatnya yang paling resek dan menyebalkan.

Zevan menggendong satu tas punggung Richal. "Lo bawa apaan, sih? Gila, banyak banget!"

"Ini belum seberapa. Biasanya kalo mudik, gue bawa lima koper sama empat tas," jawab Richal sambil berjalan menuju mobil kecil berwarna hitam yang terparkir di garasi Zevan.

Zevan berdecak-decak. "Kagak salah, tuh? Mudik apa pindahan, Richal Setya Bambang?"

"Mudik, dong. Kalo pindahan, langsung gue seret rumahnya. Gak usah bawa koper-koper segala." Richal tertawa lepas sembari meletakkan semua barang-barangnya ke dalam bagasi mobil.

"Richal, panasin mobilnya."

Edwin melempar kunci mobil ke arah Richal. Sayangnya, kunci itu malah mendarat tepat di dahi lelaki berdarah Jawa itu. Alhasil, cowok itu memekik, membuat semua orang yang ada di dalam rumah Zevan keluar seketika.

"Richal, kenapa teriak-teriak?" tanya Vina yang muncul dari dalam garasi, dengan napas yang tidak beraturan, setelah berlari tadi. Ferdi hanya melongo, tanpa berniat menanyakan apa pun. Cowok itu kembali masuk ke dalam garasi yang langsung terhubung dengan pintu dapur.

Richal menunjuk jidatnya yang sedikit memar. "Ini, Tan. Jidat Richal jadi benjol gara-gara Bang Edwin. Huh!"

"Lebai," gumam Edwin saat menyaksikan Richal mengadu kepada Vina dengan raut wajah yang menimbulkan rasa belas kasihan.

"Aduh, iya benjol. Bentar, Tante ambilin minyak tawon dulu." Wanita berjilbab hijau daun itu melangkah dengan kecepatan tinggi. Kini, ia masuk lewat pintu depan yang terletak di sebelah kiri garasi.

"Nyusahin orang aja," cibir Edwin seraya memutar bola mata malas.
"Kasian nyokap gue capek bolak-balik gara-gara lo, Bambang!" geram Zevan.

Richal mengusap-usap keningnya. "Lah, kenapa jadi gue yang disalahin? Kan udah jelas-jelas kalo yang salah itu Bang Edwin."

Zevan dan Edwin bersamaan mengembuskan napas gusar. Mereka berdua gemas dengan tingkah laku Richal yang seperti ini. Rasanya mereka ingin membuang Richal ke dalam tong sampah yang terletak di depan rumah Zevan.

Kemudian, membakar Richal hidup-hidup sekarang juga. Namun, hati kecil mereka berteriak agar tidak melakukan hal itu. Bagaimanapun juga, Richal adalah sahabat mereka yang paling perhatian, walau sikapnya sangat menjengkelkan.

"Richal, Tante yang olesin, ya."

Richal menoleh. Ia mengangguk dan menyamakan tinggi badannya dengan Vina. Memang tubuh Vina agak mungil. Hanya sebatas pundak Richal saja. Setelah selesai, lelaki itu mengucapkan terima kasih.

"Mana koreknya?" Richal menyodorkan tangannya di hadapan wajah Edwin.

Edwin mengernyitkan kening. "Untuk?"

Ini (Bukan) Perjodohan |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang