🔹🔸🔹🔸🔹Bismillah🔸🔹🔸🔹🔸
Selamat membaca
Jangan lupa vote dan komen, ya
🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹
"Belajar yang bener, ya. Biar anak gue nanti pinter kayak lo."
"Siap, A Zevan."
"Cakep. Oh, iya. Jangan capek-capek, biar dedek bayinya tetep sehat, Mol."
"Apaan, sih, A? Kan Mola mual-mual semalem cuma gara-gara naik lift. Bukan lagi hamil. Ih!"
Mola meninju pelan lengan kekar Zevan sembari mencubit gemas pinggang suaminya itu. Sudah ribuan kali Mola menjelaskan tentang kejadian semalam. Akan tetapi, Zevan masih saja mengira dirinya tengah hamil muda. Bibirnya mengerucut kala cowok bernetra cokelat gelap itu terkekeh pelan menatap raut wajah masamnya. Untung saja koridor di lantai 2 ini tampak sepi. Jadi, tak akan ada yang mencurigai gerak-gerik sepasang suami istri ini.
"Gue cuma bercanda, Mola. Tapi kalo beneran juga gak apa-apa, sih."
Mola melayangkan tatapan tajam ke arah pemuda yang berseragam putih abu-abu itu. Gadis itu berkacak pinggang sembari menginjak kuat-kuat kaki Zevan yang terbalut sepatu tali. Kali ini pemuda itu hanya bisa menutup mulutnya dengan telapak tangan selama menahan rasa sakit dan perih di kakinya. Jangan sampai ia menganggu ketenangan para siswa dan guru yang tengah melaksanakan kegiatan belajar mengajar di dalam kelas.
"Sekolah dulu yang bener, Aa. Mikirin anaknya nanti aja, kalo udah lulus."
Zevan mengembuskan napas lega saat kakinya kembali menghirup udara bebas. Lelaki itu menyengir kuda sembari mengangkat jari tengah dan jari telunjuknya ke udara sebagai pertanda damai. Ia mengangguk, terpaksa menyetujui perkataan Mola. Entah kenapa semenjak dirinya menikah dengan Mola, pemuda itu terlihat lebih senang apabila istrinya merajuk karena mendengar semua ucapannya. Bukan ucapan, lebih tepatnya rayuan.
"Ya udah. Gue mau ke kelas dulu, ya. Jangan kangen, jangan rindu, jangan nangis, jang—"
"Berisik! Udah sana A Zevan pergi yang jauh!" potong Mola cepat seraya mendorong-dorong tubuh jangkung lelaki itu dengan sekuat tenaga. Sedangkan Zevan hanya diam di tempat dengan raut wajah yang memerah karena menahan tawa. Tenaga Mola tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan tenaga lelaki itu. Tubuh gadis yang hanya sepundaknya itu memudahkan dirinya mengimpit kepala Mola di ketiak.
"Astagfirullah! A Zevan, lepasin Mola! Ih!"
"Gak bakal, sebelum lo jawab pertanyaan gue! Lo kenapa, sih, hari ini sensian mulu sama gue?"
***
"Selamat pagi, teman-teman. Perkenalkan nama Mola ... Dahlia Endah."
Gelak tawa penghuni kelas XII IPA 2 meledak seketika. Ada yang sampai terpingkal-pingkal, ada yang tertawa sambil memegang perutnya, dan ada juga yang hanya tersenyum tipis menanggapinya. Mola yang tengah berdiri di depan kelas, hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal sembari menyengir kuda saat menatap satu per satu orang yang akan menjadi teman barunya.
"Namanya Mola atau Dahlia Endah, nih?" tanya lelaki mungil yang duduk di depan meja guru.
"Nama dari Bapak, ya, Dahlia Endah, tapi Mola lebih suka dipanggil Mola, Aa,” jawab Mola seraya tersenyum lebar.
"Acieeeee ... Raihan dipanggil Aa, guys. Uwuuu. Hahahaha ...."
Entah kenapa Raihan merasa tersipu malu mendengarnya. Apalagi saat ia tak sengaja menatap Mola yang tersenyum manis ke arahnya. Duh, rasanya Raihan ingin pingsan sekarang saja. Senyuman Mola sangat manis, melebihi manisnya gula yang ada di kantin, pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ini (Bukan) Perjodohan |TAMAT|
Teen FictionHARAP JAGA KEWARASAN DAN DILARANG KETAWA SAAT MEMBACA! * Bismilllah. Sebelum membaca, alangkah baiknya teman-teman follow akun saya dulu, ya. 🌹🌷🌹 Teror demi teror datang mengusik rumah tangga Zevan dan Mola yang tergolong masih seusia jagung. Pa...