7 - Pemadaman Listrik Bergilir

44 12 0
                                    

🔹🔸🔹🔸🔹Bismilllah🔸🔹🔸🔹🔸

Selamat membaca

Jangan lupa vote dan komen, ya

🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹

"Richal! Richal! Hey, lo masih hidup di dalem?"

"Sebenernya, gue masih mau hidup!"
"Chal, ini gue Zevan!"

"Pergi sana! Jangan ganggu gue, dedemit! Lo Zevan palsu!"

"Buka pintunya! Gue bukan setan, Bambang!"

Habis sudah kesabaran Zevan menghadapi tingkah Richal yang semakin hari semakin aneh. Sudah berkali-kali ia menggedor-gedor pintu kamar mandi, tetapi Richal tetap tidak mau keluar.

Rasa takut menjadi alasan Richal tetap diam di dalam sana. Padahal Zevan datang ke situ untuk menerangi Richal dari kegelapan di tengah-tengah pemadaman listrik bergilir.

"Satu menit lagi lo gak keluar, gue tinggal!"

"Lo setan, 'kan? Eh, salah. Maksudnya ... lo Zevan, 'kan?"

"Iya, Richal. Gue Zevan Khayri Rivandra!"

"Boong. Gue tau lo setan!"

"Satu ... dua ... ti—"

Richal langsung membuka selot pintu. Benar saja, ia menemukan Zevan yang tengah menyalakan senter di ponselnya. Cowok berdarah Jawa itu hanya cengar-cengir menatap raut wajah datar Zevan. Sedangkan Zevan hanya menganjurkan bibir bawahnya ke depan.

"Lain kali, jangan nyusahin orang, bisa?"

Richal menunduk dan mengikuti langkah lelaki yang bertubuh lebih tinggi darinya. Sebenarnya, ia juga tidak ingin memiliki perasaan takut yang begitu besar seperti ini. Cowok itu berharap bisa memiliki jiwa keberanian yang luar biasa seperti ketiga sahabatnya. Namun, semua itu hanya angan-angannya saja.

"Lo mau tidur sama gue atau sama Bang Edwin?" tanya Zevan. Mereka berhenti di tengah-tengah kamar Zevan dan kamar Edwin yang berseberangan. Richal melirik sekilas layar ponsel Zevan yang menyala. Masih pukul 9 malam ternyata.

"Sama lo," jawab Richal seraya tersenyum, walaupun terpaksa.

Zevan mengangguk. "Ya udah. Sana masuk duluan. Gue mau bantu Umi beres-beres dagangan dulu."

Richal mendelik. Ia tak menyangka bahwa Zevan akan meninggalkan dirinya sendirian. Mana mungkin ia berani untuk tidur sendiri dalam keadaan gelap seperti ini. Rasa takut kian menyelimuti tubuhnya. Tanpa basa-basi, ia langsung menerobos kamar Edwin yang ada di sebelah kirinya.

"Ngapain lo ke sini?"

Ferdi menyorotkan cahaya senter ke wajah Richal. Ia melirik sekilas Edwin yang tampak terlelap di alam bawah sadar, tanpa terganggu sedikit pun dengan suaranya. Sepertinya, Edwin benar-benar terbawa pengaruh obat sakit kepala yang diminumnya tadi.

"Gue takut tidur sendiri di sana. Gue numpang tidur di sini, ya? Boleh, ya?"

Richal menangkup kedua telapak tangannya di depan dada. Air mukanya menimbulkan rasa belas kasihan. Kalau sudah seperti ini, Ferdi juga tidak tega. Akhirnya, ia mengangguk dan mempersilakan Richal untuk tidur di tengah-tengah dirinya dan Edwin.

"Awas aja kalo peluk-peluk gue! Nanti gue masukkin kecoa ke baju lo!"

***

Ini (Bukan) Perjodohan |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang