22 - Bendera Kuning

21 6 0
                                    

"Pak, seblaknya satu lagi, ya."

Zevan menganga memperhatikan Mola yang tengah menumpuk dua mangkuk hijau di hadapannya. Cowok itu susah payah meneguk salivanya saat melirik sekilas semangkuk seblak miliknya yang sedari tadi belum habis-habis juga.

Satu mangkuk seblak saja, rasanya Zevan tidak sanggup menghabiskannya dalam waktu singkat. Sedangkan istrinya, baru saja beberapa menit mereka sampai di kedai tersebut, ia berhasil melahap dua porsi seblak sekaligus dan sekarang ia sedang menunggu pesanan selanjutnya.

"Kamu laper atau doyan, Mol?" tanya Zevan, menatap lekat bola mata coklat terang gadis itu. Mola hanya menyengir kuda dan beralih menerima pesanan yang baru saja diantarkan pemuda berbaju merah yang berdiri di sampingnya.

Zevan mencubit gemas pipi Mola. Sampai-sampai sang empu meringis kesakitan dan melayangkan tatapan tak bersahabat kepadanya. "Jangan ngambek, Sayang. Lanjut lagi makannya, ya. Biar cepet gede dan—"

"Ehem ... dilarang menebarkan keuwuan di tempat keramaian seperti ini," potong Dio, pelayan yang mengantarkan pesanan Mola. Zevan menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum sinis menatap lelaki yang tengah mengerucutkan bibirnya seraya memutar bola mata malas.

"Kalo jomlo, ya, jomlo aja. Kagak usah ngiri sama orang. Udah sono lo balik kerja dah. Jangan gangguin gue sama cewek gue."

Dio mendengkus dan melangkah cepat meninggalkan pemandangan yang membuat suasana hatinya hancur seketika. Sedangkan Mola sibuk dengan dunianya sendiri tanpa mengindahkan Zevan yang terus-terusan memanggil namanya.

Masa bodoh dengan keadaan. Intinya Mola ingin menghabiskan semangkuk seblak itu sekarang juga. Gadis itu juga bingung kenapa tiba-tiba dirinya menjadi rakus seperti ini.

Hening. Tak ada percakapan di antara keduanya. Hanya terdengar suara dentingan sendok saat beradu dengan mangkuk. Suasana semakin larut. Nyanyian jangkrik yang kian memekakan telinga, membuat para pelanggan bergegas melangkah ke luar kedai sederhana yang dibangun di pinggir jalan raya tersebut. Sepertinya, mereka akan segera pulang ke tempat tinggalnya masing-masing.

"Alhamdulillah. Punya Mola udah habis, A," kata Mola. Gadis bergamis hijau lumut itu mengitari meja bundar di depannya, lalu duduk di samping Zevan dan bersandar pada lengan kekar suaminya.

"Makasih banyak udah nurutin permintaan Mola. Sayang A Zevan banyak-banyak," bisik Mola tepat di telinga kiri lelaki yang sedang mengunyah suapan terakhir. Setelah sekian menit berlalu begitu cepat. Akhirnya, Zevan mampu melahap habis semangkuk makanan yang tidak terlalu ia sukai itu.

Cowok itu menoleh dan menaikkan sudut bibir kanannya. "Makasih doang gak cukup, Mol." Zevan menunjuk-nunjuk pipi kanannya sembari menaik turunkan alis tebalnya. "Bayarannya, harus cium pipi aku sekarang," pinta Zevan yang dibalas gelengan cepat oleh Mola.

Gadis itu menyapu pandangannya pada sekeliling kedai yang tampak sepi dan redup pencahayaannya. Sebenarnya, ini kesempatan bagus baginya untuk menuruti keinginan Zevan. Namun, mau bagaimana lagi? Rasa malu semakin menyelimuti tubuh mungilnya. Apalagi saat sebuah kecupan mendarat di pipi kanannya. Dirinya mematung seketika dan mata sipitnya ikut melebar ketika kejadian tersebut kembali terulang pada detik berikutnya.

"A–a Zevan, nyi–nyium Mola?" Gadis itu menepuk-nepuk pipinya dengan pandangan lurus ke depan. Tak berani melirik sedikit pun Zevan yang sedang bersandar di bahunya sembari mengotak-atik benda pipih berwarna hitam yang digenggam. "Untuk pertama kalinya," imbuhnya dengan mengangkat kedua sudut bibirnya.

Zevan hanya terkekeh kecil menanggapi ucapan Mola yang terakhir. Mencium Mola bukan hal pertama kalinya yang ia lakukan selama ini. Melainkan, sudah ke sepuluh kali bibirnya kembali mendarat di pipi gembul milik istrinya itu. Tentu saja hal ini ia lakukan secara diam-diam, saat Mola tertidur pulas di lengannya.

Ini (Bukan) Perjodohan |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang