31 - Akhir Segalanya?

11 2 0
                                    

"Argghh! Lo kenapa nyulik orang tua gue juga, hah?!"

"Gue punya salah apa sama lo, Go?! Sampe-sampe lo ngelibatin orang-orang yang gue sayang!"

"Dasar, manusia biadab!"

Zevan bangkit dan langsung menerjang perut Ugo sampai tersungkur. Ia menindih tubuh cowok itu dan melayangkan banyak pukulan pada wajah tampan Ugo. Emosi telah berhasil menguasai diri Zevan seutuhnya. Ia tak mendengarkan teriakan Edwin dan jeritan Mola yang memintanya untuk berhenti menganiaya Ugo yang sudah tak berdaya di bawah kekuasaannya.

"Istighfar, A. Jangan kebablasan kayak gini."

Seorang perempuan mungil memeluk tubuh Zevan dari belakang dengan sangat erat. Sampai-sampai cowok itu kesulitan bernapas. Sedikit bergeser untuk menjauh dari tubuh Ugo. Zevan memutar badannya dan kembali mendekap gadis yang penuh luka di sekujur tubuhnya itu. Meniup pelan goresan darah yang tercipta di kedua lengan Mola. Ia merasa gagal menjadi seorang suami jika bulir kristal kembali mengalir di kedua pipi gadis itu.

"Wow! Malam hari yang penuh drama," ejek Ugo sembari menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya.

"Sepertinya, kalo kedua manusia yang gak punya akhlak itu ... mengembuskan napas terakhirnya malam ini juga, bagaimana? Asik gak, ya?"

Zevan menatap tajam lelaki yang tengah terbahak-bahak setelah mengucapkan kalimat yang membuat amarahnya kembali mendidih. Cowok itu menuntun Mola agar berada di dekat Edwin. Sedangkan dirinya langsung berlari menghampiri Ghani dan Vina.

"Ma, Pa, kenapa bisa kayak gini, sih?"

Cowok berjaket cokelat itu mencoba melepaskan tali tambang yang mengikat kedua orang tuanya. Dirinya tak tega saat melihat sang ibunda mengeluarkan darah dari hidungnya. Apalagi melirik Ghani yang terbatuk-batuk dan menyisakan darah di telapak tangannya. Zevan merangkul kedua insan yang sangat berharga dalam hidupnya itu. Menumpahkan segala tangis yang sempat ia tahan tadi, sembari mengusap-usap punggung Ghani dan Vina dengan penuh ketulusan dan keikhlasan.

"Mari kita mulai permainan ini. Saya akan akan mengajarkanmu apa arti penyesalan yang sebenarnya."

"Mari kita mulai permainan ini. Saya akan akan mengajarkanmu apa arti penyesalan yang sebenarnya."

"Mari kita mulai permainan ini. Saya akan akan mengajarkanmu apa arti penyesalan yang sebenarnya."

"Woy! Tunjukkin wujud lo! Jangan cuma jadi pengecut!

Tak ada sahutan sama sekali, hanya ada suara robot yang mengucapkan kalimat tersebut tiada henti. Sampai-sampai Mola menutup kedua telinganya untuk menghindari kalimat yang sangat menyeramkan baginya. Gadis itu takut jika aksi teror seminggu yang lalu, akan kembali terulang di kehidupannya. Mola takut. Sangat takut jika berurusan dengan seperti itu.

"Mola takut, A Zevan."

Zevan berbalik dan mendapati sang istri yang tengah menangis dari kejauhan. Ingin rasanya ia memeluk dan membawa pulang Mola. Akan tetapi, masalah besar ini belum terungkap semuanya. Cowok itu harus menuntaskan masalah tersebut pada malam ini juga. Agar tak ada lagi kejadian yang menjanggal dan menganggu hubungan pernikahan mereka yang masih tergolong seusia jagung itu.

"Selamat datang di gedung tua yang penuh dengan darah ini!"

Sorot mata mereka mengarah pada seseorang berjubah hitam yang baru saja menapaki lantai dasar di gedung tersebut. Setengah wajahnya yang tertutup masker, menyulitkan para musuhnya untuk mengetahui identitas orang misterius tersebut. Suara yang dikeluarkannya pun persis seperti suara robot. Hal ini yang membuat Zevan benar-benar tidak mengenalinya.

"Saya kasih waktu lima menit, untuk mengucapkan selamat tinggal kepada mereka."

Zevan melotot setelah mendengar ucapan manusia berjubah hitam yang sudah berdiri di belakangnya. Entah sejak kapan dia di situ. Mola juga tidak tahu karena dirinya sibuk menenggelamkan kepala pada kedua lekukan kakinya. Sekadar meluapkan kesedihan hatinya kali ini, tanpa ada yang menganggu dan mengacaukannya. Tak sanggup menatap sekitar yang semakin menggores luka di hatinya.

"Lo punya masalah sama gue, bilang! Jangan ngelibatin orang-orang yang gue sayang kayak gini!"

"Saya tidak punya masalah denganmu, Zevan Khayri Rivandra. Tapi, biang masalah dari semua ini sebenarnya ayahmu sendiri."

Kening Zevan berkerut, tak paham dengan maksud perkataan makhluk berjubah hitam tersebut. Sebesar apa masalah Ghani sampai-sampai dirinya diculik seperti itu? Bahkan, anak-anaknya ikut terlibat menjadi korban penganiayaan di gedung ini. Zevan memegang pundak Ghani, menyalurkan segenap ketegaran yang ia punya. Memintanya secara hati-hati untuk menjelaskan semua maksud kalimat yang disampaikan.

Vani mengangguk, seakan tahu keraguan yang dialami suaminya. Ghani menghela napas berat dan menatap Zevan dan manusia misterius itu secara bergantian. Apa keputusannya membongkar kebenaran saat ini merupakan sesuatu yang terbaik? Ya, Ghani berharap semua langkah yang ia ambil, menimbulkan dampak baik untuk dirinya, istrinya, dan kedua anaknya tersebut.

"Seminggu yang lalu, waktu Papa pulang kerja sore-sore, mobil yang Papa bawa remnya mendadak blong. Saat itu juga Papa benar-benar panik karena posisi jalanan yang sedikit menurun. Nah, waktu itu Papa malah banting stir karena ada truk yang mendadak berhenti di depan, dan mobil Papa gak sengaja nabrak mobil sedan yang warnanya hijau telur asin itu.”

"Saking takutnya, pedal gas Papa injak cepat buat ngehindarin sekumpulan warga yang berkerumun dan minta Papa buat tanggung jawab. Papa gak mau karena pasti melibatkan polisi nanti di akhirnya. Ya udah, Papa kabur dan ngambil penerbangan ke Jerman besoknya."

"Dan karena kecerobohan bokap lo, bokap gue jadi korban, Van!"

"RICHAL?"

Ini (Bukan) Perjodohan |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang