"Bang, ini beneran lokasinya?"
Banyak pohon-pohon besar tertanam di sekelilingnya. Langit gelap yang berhamburan bintang tak mampu mengalihkan atensi kedua cowok tampan bertubuh tinggi tersebut. Memakirkan mobil di pinggir sebuah gedung tua yang dipenuhi sarang laba-laba dan debu yang begitu tebal.
Bulu kuduk Zevan tiba-tiba meremang saat baru saja membuka pintu mobil dan keluar dari sana. Tak berani menoleh, takut saja jika ada sesuatu hal yang tak kasat mata berdiri di sebelahnya. Memandang sekilas bangunan tua di hadapannya. Entah kenapa perasaan ragu mulai menguasai tubuhnya.
"Lo bawa pistol, Van. Biar gue yang bawa samurai. Gak mungkin kita masuk ke sana cuma pake tangan kosong." Ternyata Edwin yang sedari tadi menyentuh bahunya. Ah, syukurlah.
Zevan mengangguk dan mulai mengikuti langkah sang mantan ketua gangster itu. Mereka berjalan mengendap-ngendap saat ada sekumpulan pria berkepala botak berjalan santai ke dalam gedung tua yang berwarna putih kusam. Jangan sampai kedatangannya memancing keributan di awal.
Edwin menyapu pandangannya ke sekeliling. Sekiranya aman, ia mengacungkan jempol kanannya ke arah Zevan sebagai isyarat. Cowok berjaket cokelat tua itu kembali melangkah, membuntuti Edwin yang perlahan mulai menginjakkan kakinya pada ruangan luas yang minim cahaya.
"Ahhh! Lepasin Mola!"
"Tolong!"
"Bang, bini gue dalam bahaya. Ayo kita serbu langsung itu penjahat botaknya," bisik Zevan sembari mengepalkan tangannya. Urat-urat ikut bermunculan di lehernya. Napasnya menggebu-gebu, seakan-akan ingin menerkam orang yang berani menyakiti istrinya.
"Jangan gegabah! Nanti lo nyesel!"
***
"Ugo Janek Meinhard. Ah, selesai. Cantik kayak aku."
Mola menangis sesenggukan saat pisau lipat yang tajam menari-nari di lengannya. Netranya menyiratkan permohonan agar segera dilepaskan oleh gadis cantik yang tengah menekan-nekan sebuah karya yang baru saja ia buat. Tak peduli dengan gadis malang yang terisak-isak menatap lengannya yang sudah terukir nama lelaki yang sangat ia benci.
"Eh, bocil! Lo apain si Mola sampe nangis kek gitu, hah?! Gak aci ini namanya!"
Ammara menoleh, mendapati kakak kandungnya yang tengah berkacak pinggang dan melayangkan tatapan permusuhan kepadanya. Gadis ber-hoodie hitam itu mencebik kesal dan mendorong cowok itu agar segera menjauh dari sisinya. Mengedikkan bahu dan kembali melatih kemampuannya dalam melukis di atas lengan seseorang yang sudah tak sadarkan diri ini.
"Lo berani sentuh dia, gue penggal kepala Zevan sekarang juga!"
Ammara mengembuskan napas gusar dan membuang pisau itu ke sembarang arah. Untung saja Ugo berhasil mengelak. Kalau tidak, pisau kecil itu bisa menghunjam perut sixpack-nya. Jangan sampai hal itu terjadi, bisa berkurang ketampanan lelaki berdarah Eropa-Indonesia ini.
Ugo menjitak kepala sekaligus menjambak kepangan rambut adik kandungnya itu. Rasanya ia ingin membakar Ammara hidup-hidup karena sudah berani melukai Mola, sang tambatan hati yang sangat ia jaga keselamatannya. Nah, ini apa? Adiknya sendiri yang malah merusak semuanya.
"Bawel banget, sih, Bang. Aku kan Cuma mau nyoba pisau baru yang aku beli tadi sore," tutur Ammara. Badannya membungkuk untuk mengambil benda yang sempat ia lempar barusan. Melipat benda tajam itu dan memasukkannya ke dalam kantung celana hitam pendek selutut.
Ugo tak mengindahkan penuturan Ammara. Kedua tangannya terangkat untuk menghapus jejak air mata yang membasahi pipi Mola yang penuh sayatan. Membelai-belai pipi dan hidung Mola dengan penuh kasih sayang. Perlahan wajahnya mendekat, hingga deruan napasnya menerpa wajah gadis cantik itu. Sedikit lagi benda kenyal itu mendarat di pipi Mola.
"Berhenti! Jangan berani lo sentuh cewek gue, Ugo!"
Suara yang sangat familiar di telinga, membuat mata gadis itu mengerjap-ngerjap perlahan. Menyesuaikan cahaya terang yang menembus retina. Mola menahan sekuat tenaga agar tak terbatuk dan mencoba tersenyum ke arah Zevan. Membuktikan bahwa dirinya baik-baik saja, walaupun sebenarnya keadaan gadis itu sangat memprihatinkan.
Ugo tersenyum miring seraya menepuk kedua tangannya. Datanglah puluhan pria berkepala botak tanpa senjata di tangan, langsung menyerang kedua pemuda SMA itu tanpa aba-aba. Sontak saja membuat Zevan terkejut seketika. Namun, melihat Mola yang tersenyum ke arahnya, seakan-akan memberi dukungan bahwa ia dapat mengalahkan puluhan lawan mainnya sekarang juga.
Satu per satu, pria gempal berkaus hitam tengkorak itu berjatuhan di lantai dan dipastikan mereka sudah tak bernyawa. Tentu saja, Zevan sangat lihai membidik pistol. Lalu, menarik pelatuknya tepat mengenai para pria suruhan Ugo tersebut. Hah, lelah juga berkelahi dengan puluhan orang seperti ini.
Sasarannya kini mengarah pada lelaki yang hampir mencium sang istri tercinta. Zevan mendekat sembari mengatur napasnya yang tidak beraturan. "Lo jawab, sebelum gue tembak, Ugo! Tujuan lo nyulik Mola kayak gini buat apa, hah?!" Zevan menendang meja kayu dengan sangat kencang, hingga terjungkal dan ambruk seketika.
Ugo menyilangkan tangan di dada dan berdecak-decak. "Bukan gue yang nyulik, Bro. Tapi, noh adek gue yang udah bawa Mola ke sini," terang Ugo sembari menunjuk dengan dagu seorang perempuan ber-hoodie hitam yang baru saja berdiri di sebelahnya.
Zevan membelalak. "Am–ammara ... lo ternyata adeknya Ugo? K–kok lo tega sama Mola?"
Badan Zevan meluruh ke lantai. Pistol yang digenggamnya pun ikut terlepas. Menatap sendu sang kekasih hati yang tengah meringis menahan perih di sekujur tubuhnya. Buliran kristal berhasil terjatuh di lantai kala hatinya terasa nyeri melihat Mola terbatuk-batuk dengan mata yang terpejam. Pasti sangat sakit sekali jika dirinya berada di posisi Mola.
"Brengsek lo semua!" umpat Zevan seraya membidik pistol itu pada kepala Ugo dan Ammara secara bergantian. Menimbang-nimbang, manusia kejam mana yang pantas menjumpai ajalnya terlebih dahulu. Sasarannya terhenti pada kepala lelaki jangkung yang berdiri santai di samping Ammara. Tak ada rasa takut sedikit pun saat pistol tersebut mengarah padanya.
Zevan tersenyum sinis dan perlahan menarik pelatuk tersebut. Ah, sial! Ugo berhasil menghindar dan tergelak-gelak menatap raut wajah amarah Zevan yang menjadi-jadi. Cowok beriris abu-abu itu menekan tombol remote mini yang baru saja ia ambil di saku celana jeans-nya. Sekumpulan anak muda itu menoleh serentak saat tirai berwarna hijau terbuka dan menampilkan sepasang suami istri paruh baya yang terduduk di kursi dengan tali yang mengikat pergelangan tangan dan kaki.
"Mama! Papa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ini (Bukan) Perjodohan |TAMAT|
Novela JuvenilHARAP JAGA KEWARASAN DAN DILARANG KETAWA SAAT MEMBACA! * Bismilllah. Sebelum membaca, alangkah baiknya teman-teman follow akun saya dulu, ya. 🌹🌷🌹 Teror demi teror datang mengusik rumah tangga Zevan dan Mola yang tergolong masih seusia jagung. Pa...