Extra Part

29 4 0
                                    

Jangan Nangis!


“Masyaa Allah ... A Zevan hebat. Juara 1 lomba basket se-Jakarta. Mola bangga banget sama A Zevan, suami Mola tersayang.”

“Kok tersayang? Kalo ada ter-nya berarti ada perbandingannya, dong. Emang suami kamu ada berapa, heh?”

“Suami Mola Cuma satu, A Zevan seorang. Gak ada yang lain. Suer, deh. Beneran. Hehe ....”

Zevan tersenyum lebar sembari mengusap lembut kepala istrinya yang terbalut pashmina berwarna hitam. Melirik sekilas pengunjung kafe yang kian meramai Sampai-sampai tak ada satu pun kursi yang kosong sekarang. Beruntung sekali kedua insan belia itu datang setengah jam lebih awal. Sehingga mereka bisa menikmati hidangan yang tersedia di salah satu kafe yang terletak di seberang apartemennya.

Cowok berkaus hitam polos itu mengerdipkan sebelah matanya ke arah gadis yang tengah sibuk menyeruput segelas jus mangga yang baru saja diantar pelayan. Entah kenapa, memandang Mola merupakan satu hal yang wajib di dalam kamus hidup Zevan sekarang. Ya, rasanya cowok berlesung pipi kiri itu telah hanyut ke dalam arus deras cintanya Mola. Cowok itu tersenyum-senyum sendiri seraya menopang dagu dan menatap lamat-lamat gadis berpipi chubby di hadapannya.

“Mola sayang gak sama Zevan?”

Mola tersentak mendengarnya, hingga ia terbatuk-batuk dan langsung meminum sedikit air putih kemasan yang diberikan Zevan. Gadis berwajah oval itu melirik sinis lelaki berdarah Betawi-Sunda yang sedang tertawa kecil di depannya. Sayang? Oh, ya, jelas. Mola pasti sayang sama Zevan. Kenapa pertanyaan ini harus dilontarkan? Sungguh, pertanyaan yang tidak perlu dijawab, pikirnya.

“Kenapa nanya gitu? Ya kali Mola gak sayang sama A Zevan. Udah Mola tolak aja waktu itu. Mana sampe kecelakaan dulu baru didengerin. Huh, nyebelin!” ketus Mola seraya menyilangkan tangannya di dada.

Zevan mencubit gemas pipi gembul Mola. Sampai-sampai gadis itu meringis dan menjauhkan lengan Zevan dari wajah cantiknya. Uh, bisa berkurang kadar kecantikan Mola kalau dicubit lagi seperti ini. “Diem, ah! Jangan cubit-cubit Mola. Ciri-ciri orang modus, tuh, kayak A Zevan gini. Awas aja cubit lagi, Mola gigit nanti!”

“Hih, galak amat istriku ini. Aku, kok, makin gemes, ya? Jadi pengen cium. Ayo pulang,” goda Zevan. Tangannya terulur untuk menusuk-nusuk pipi Mola yang menggembung. Ia tertawa memperhatikan wajah istrinya yang sangat imut sekarang. Pipi Mola bersemu merah. Matanya terpejam, seakan-akan malu untuk sekadar menatap wajah tampan pemuda yang baru saja duduk di sampingnya.

“Ayo, pulang. Ih, gak enak kalo cium di sini. Malu diliatin orang. Kuylah, Mol. Please ....”

Mola mengedikkan bahu tak acuh dan bersandar pada bahu tegap Zevan. Gadis yang kini mengenakan hoodie berwarna kuning kunyit itu, tak ada niat sama sekali untuk beranjak dari kursi berbahan kayu rotan yang ia duduki. Rasa hati ingin berlama-lama di sini, sekadar menepis rasa bosan yang kian mendera kala menunggu Zevan yang tak kunjung pulang dari tempat kerjanya.

Memang semenjak kejadian beberapa minggu silam, Mola merasa hidupnya kembali aman dan damai. Hingga dirinya pun sudah tak ikut lagi bila sang suami harus pergi meninggalkannya lantaran pekerjaan yang menanti. Gadis beralis tipis itu hanya bisa berdoa agar selalu diberi keselamatan oleh Sang MahaKuasa. Alhamdulillah ... untaian doa yang ia panjatkan, selalu berbuah manis setelahnya. Tak ada lagi aksi teror dan penculikan seperti waktu lalu.

Ini (Bukan) Perjodohan |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang