15 - Selamat Tinggal

28 7 0
                                    

🔹🔸🔹🔸🔹Bismillah🔸🔹🔸🔹🔸

Selamat membaca

Jangan lupa vote dan komen, ya

🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹🔸🔹

"Mola gak paham, Pak. Maksudnya gimana, ya?" tanya Mola dengan dahi berkerut dan matanya menyipit menatap bapaknya.

Dedeng hanya menggeleng heran melihat putrinya seperti itu. Mola menggoyang-goyangkan lengan pria paruh baya itu sambil terus menanyakan sesuatu yang mengganjal di benaknya. Pikirannya juga terus berjalan mengiringi setiap elusan lembut di kepalanya.

"Kan Zevan juga tinggal di Jakarta, Sayang. Kalau kamu nikah sama dia, peluang kamu buat kuliah di sana semakin besar." Lagi-lagi dada Mola terasa sesak saat mendengar nama Zevan.

Namun, tidak dapat dipungkiri juga perkataan Dedeng memang benar adanya. Peluang meraih masa depan lebih mudah apabila dirinya menikah dengan Zevan. Akan tetapi, hati kecilnya menjerit untuk tetap berdiam di kampungnya saja. Merawat dengan sepenuh hati sang Bapak yang sangat ia cintai dan sayangi ini.

Sedari dulu, Mola memang lebih dekat dengan Dedeng—bapaknya—daripada Esih—ibunya. Rasa sayangnya yang begitu kuat membuatnya rela bersekolah sambil berjualan untuk membantu biaya pengobatan bapaknya.

Gadis itu tidak pernah mengeluh selama merawat bapaknya. Tak ada kata lelah dan letih yang ia ucapkan setiap harinya. Hatinya sungguh ikhlas menjalankan semuanya hanya karena sang penguasa alam semesta, Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

"Mola gak mau jauh-jauh dari Bapak." Mola berdiri dan merentangkan tangannya. Dedeng hanya tertawa kecil menanggapinya. Dengan senang hati, ia merengkuh tubuh anaknya yang mungil itu.

"Mola sayang Bapak banyak-banyak," ujar Mola dengan nada lirih. Dedeng mengangguk sembari mengelus-elus punggung anaknya. "Mola gak bisa jauh dari Bapak. Titik!" tegas Mola dengan menekan setiap kata yang ia ucapkan.

"Nanti juga kalau kamu udah nikah, ya, kamu harus ngikut sama suami kamu. Siapa pun yang nanti jadi suami kamu, bisa jadi Zevan atau yang lain, kamu harus nurut sama suami kamu itu, Sayang. Jangan nempel-nempel sama Bapak mulu. Malu. Apa kata orang nanti? Eh, salah. Apa kata suamimu nanti, hm?" jelas Dedeng dengan sangat detail.

Mola berusaha mencerna kata demi kata yang dilontarkan oleh bapaknya. Gadis itu menangguk pelan, menyetujui kebenaran yang Dedeng ucapkan barusan. Pria itu mengurai pelukannya. "Kamu sayang sama Bapak, 'kan?" Mola mengangguk dengan semangat seraya duduk di bibir ranjang pasien.

“Jadi, kamu mau nikah, kan, sama Zevan?”

"Maaf, Pak. Kasih Mola waktu buat berpikir, ya."

***

"Umi, Bapak, Zevan pamit pulang dulu, ya. Jangan lupa buat jaga kesehatannya. Jangan capek-capek dagangnya, ya."

Zevan menyalimi tangan kakek dan neneknya bergantian. Tak lupa juga ia merengkuh tubuh sepasang insan yang ada di hadapannya. Lelaki bermata sayu itu mengucapkan banyak kata terima kasih dan maaf karena sudah merepotkannya selama dua hari ini.

"Zevan gak tau kapan lagi main ke sini," ujar Zevan dengan tersenyum manis.

Ferdi dan Edwin ikut menyalimi kakek dan neneknya Zevan. Ada sedikit perubahan di sore hari ini, lantaran si cowok berkacamata itu menebarkan pesona senyumnya, walaupun hanya beberapa detik saja. Zevan hanya tertawa di dalam hati memperhatikan perubahan Edwin kini.

Ini (Bukan) Perjodohan |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang